
Dalam riuh rendah kehidupan yang terus berlari, kita sering kali tak sempat menoleh pada keajaiban-keajaiban kecil yang dengan sabar hadir di sekeliling kita. Kita terburu-buru, mengejar waktu, target, dan pencapaian, hingga lupa bahwa yang paling tulus dan indah dari hidup sering datang dalam diam: seberkas cahaya pagi yang menyusup melalui jendela, seulas senyum dari orang asing, atau sehelai bunga liar yang mekar di sela trotoar yang retak.
Zaman ini mengajarkan kita untuk sibuk. Kita dihantui oleh produktivitas, disuruh terus melaju, tak boleh diam. Padahal, dalam diam justru hidup berbisik. Dalam diam, kita dapat mendengar detak jantung dunia—suara dedaunan yang berbisik diterpa angin, nyanyian burung yang tak pernah menuntut tepuk tangan, atau gemercik hujan yang turun tak pernah pilih tempat. Keindahan sejati tak pernah memaksa untuk diperhatikan. Ia hadir bagi siapa saja yang bersedia berhenti sejenak dan mengamati.
Hidup bukanlah sekadar soal menyelesaikan daftar pencapaian, menandai kalender dengan keberhasilan, atau merayakan momen-momen besar yang gemerlap. Hidup adalah tentang hadir sepenuhnya di tengah kesederhanaan: menghirup aroma kopi yang mengepul di pagi hari, mengusap kepala anak yang tertidur pulas, atau duduk diam menyaksikan mentari pulang ke peraduannya. Hal-hal kecil ini, yang tampak remeh, sesungguhnya adalah pilar yang menopang kebahagiaan yang hakiki.
Banyak dari kita menanti datangnya “kebahagiaan besar”—sebuah karier impian, rumah megah, cinta sempurna. Tapi betapa sering kebahagiaan justru datang dalam bentuk yang tak kita duga. Ia menyamar sebagai pelukan yang tak direncanakan, sebagai candaan ringan yang membuat kita tertawa sampai lupa waktu, atau sebagai waktu sunyi yang membuat kita akhirnya menyadari betapa berartinya hidup ini.
Marisa Arai pernah berkata,
“Life is a beautiful journey, and each day is a fresh bloom of hope, joy, and endless possibilities.”
Dan benar adanya, setiap hari adalah kelopak yang terbuka perlahan. Bahkan hari yang tampak biasa pun membawa serta secercah harapan, kegembiraan kecil, dan kemungkinan yang belum kita tahu. Maka, mari kita belajar untuk tidak hanya melewati hari, tapi menghidupi hari. Menghirupnya dalam-dalam, menyentuhnya dengan hati, dan bersyukur atas setiap detik yang dianugerahkan.
Sebab hidup, pada akhirnya, bukanlah tentang seberapa tinggi kita terbang, tetapi seberapa dalam kita merasakan tanah tempat kita berpijak. Ia adalah perjalanan panjang yang indah, bukan karena lintasannya lurus dan mudah, melainkan karena di sepanjang jalan itu, bunga-bunga kecil mekar tanpa suara, menunggu untuk ditemukan oleh mata yang tak terburu-buru dan hati yang bersedia bersyukur.