Di tengah derasnya arus modernitas, masih ada sebagian kalangan umat Islam yang menolak mentah-mentah perayaan ulang tahun. Bahkan, tak sedikit yang mengharamkannya atas nama purifikasi ajaran. Mereka menuduhnya sebagai budaya Barat, perbuatan sia-sia, atau bahkan bid’ah yang sesat. Namun, di balik pandangan hitam-putih tersebut, ada satu pertanyaan mendasar yang layak diajukan: apakah benar merayakan ulang tahun bertentangan dengan ajaran Islam?
Sebagai seorang Muslim yang mencoba merenungi makna dari setiap laku hidup, saya memandang ulang tahun bukan sebagai seremoni kosong, melainkan sebagai momen spiritual—sebuah titik jeda untuk berhenti sejenak dan menengok ke dalam diri: apa yang telah aku lakukan dengan umur yang telah diberikan Tuhan?
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk melakukan refleksi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini menyiratkan bahwa manusia diberi kebebasan sekaligus tanggung jawab untuk mengevaluasi hidupnya. Dalam konteks itu, ulang tahun bisa menjadi momentum muhasabah: usia bertambah, tapi apakah amal juga bertambah? Tubuh menua, tapi apakah jiwa juga bertumbuh?
Lebih jauh, ucapan “selamat ulang tahun” sejatinya adalah doa. Kita mendoakan orang yang kita cintai agar diberi umur panjang, kesehatan, keberkahan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Dalam tradisi Islam sendiri, doa adalah bentuk cinta paling luhur. Bahkan Nabi Isa dalam Al-Qur’an mengakui hari kelahirannya sebagai momen yang penuh keselamatan:
“Keselamatan atas diriku pada hari aku dilahirkan, hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
(QS. Maryam: 33)
Jika hari lahir seorang nabi disebut sebagai hari yang layak disapa dengan “salam” (keselamatan), mengapa kita tidak boleh mengingat hari kelahiran orang-orang terkasih dengan doa dan harapan yang sama?
Argumen yang menyatakan bahwa ulang tahun harus ditolak karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah bentuk logika yang sempit. Tidak semua yang tidak dilakukan Nabi otomatis haram. Ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, dan Al-Ghazali membedakan antara bid’ah hasanah (inovasi baik) dan bid’ah dhalalah (inovasi sesat). Jika ulang tahun dipenuhi dengan doa, rasa syukur, dan introspeksi, maka ia masuk dalam kategori kebaikan—bukan kesesatan.
Justru, menolak segala bentuk budaya hanya karena berasal dari luar Islam, tanpa melihat makna substansialnya, adalah bentuk kegagalan memahami pesan universal Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam tidak anti budaya. Islam tidak anti kegembiraan. Islam tidak anti kreativitas selama semua itu tidak menyimpang dari nilai-nilai tauhid dan akhlak.
Perayaan ulang tahun bisa menjadi jalan untuk memperkuat silaturahmi, mempererat kasih sayang, serta menghidupkan tradisi doa di tengah keluarga dan sahabat. Ia tidak harus mewah atau boros. Bahkan hanya dengan secangkir teh dan ucapan “semoga engkau diberkahi Allah,” makna ulang tahun telah hadir secara spiritual.
Pada akhirnya, perayaan ulang tahun bukanlah soal lilin, kue, atau pesta. Ia adalah soal niat, soal makna, dan soal bagaimana kita memperlakukan waktu sebagai karunia Allah. Sebab umur bukan sekadar angka—ia adalah amanah, dan setiap amanah kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Jika ada yang menganggap ulang tahun itu haram, mungkin bukan ulang tahunnya yang salah. Bisa jadi, cara berpikir kita terhadap dunia yang terlalu sempitlah yang perlu dirayakan kematiannya.