Dalam sejarah dunia, Nelson Mandela dikenal sebagai simbol kekuatan kata “maaf” yang mampu membangun kembali Afrika Selatan dari reruntuhan apartheid. Setelah menghabiskan 27 tahun di penjara, Mandela memilih untuk memaafkan para penindasnya dan merangkul mereka dalam semangat rekonsiliasi. Kata “maaf” yang diucapkannya bukan sekadar ungkapan biasa, melainkan manifestasi dari keberanian, kemuliaan hati, dan tekad untuk menyatukan bangsa yang terpecah belah. Berkat sikap ini, Mandela berhasil menciptakan fondasi perdamaian dan kerjasama di Afrika Selatan.
Sebaliknya, di Indonesia, kata “maaf” yang diucapkan oleh Presiden Jokowi justru membawa kontroversi dan kekecewaan. Baru-baru ini, dalam acara Zikir dan Doa Kebangsaan di halaman depan Istana Merdeka, Jokowi menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Namun, alih-alih membawa pengampunan dan harapan, permintaan maaf tersebut justru memperpanjang daftar ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahannya.
Permintaan maaf Jokowi dianggap oleh banyak pihak sebagai pengakuan atas berbagai janji dan program yang tidak terealisasi. Banyak yang meragukan ketulusan dari kata “maaf” tersebut, mengingat masih banyak janji kampanye yang belum terpenuhi. Misalnya, janji untuk memperbaiki sektor hukum, ekonomi, dan infrastruktur yang masih jauh dari harapan masyarakat.
Selain itu, Jokowi diharapkan lebih fokus pada penegakan hukum yang transparan dan adil. Beberapa kasus hukum besar yang melibatkan pejabat tinggi dan anggota keluarganya masih belum terselesaikan dengan jelas. Kasus-kasus ini, jika tidak ditangani dengan serius, dapat semakin merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebagai pemimpin, kata “maaf” seharusnya menjadi awal dari perubahan nyata, bukan sekadar kata-kata tanpa tindakan. Mandela membuktikan bahwa kata “maaf” dapat menjadi alat yang kuat untuk membangun bangsa dan memperkuat persatuan. Namun, di tangan Jokowi, kata “maaf” justru menjadi simbol dari kegagalan untuk memenuhi janji-janji dan tanggung jawab sebagai pemimpin bangsa.
Dengan demikian, perbedaan penggunaan kata “maaf” oleh dua pemimpin ini menjadi cermin dari keberhasilan dan kegagalan dalam memimpin. Mandela menggunakan “maaf” untuk menyembuhkan luka dan membangun masa depan, sementara Jokowi, dengan segala kontroversi dan janji yang belum terpenuhi, menjadikan “maaf” sebagai pengingat akan ekspektasi yang belum terpenuhi dan harapan yang masih tergantung.