Oleh: M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Advokasi yang terampil “skillful advocacy” merupakan komoditas langka dan menjadi salah satu penyebab susahnya mencapai ketidakadailan, tentunya disetiap generasi selalu menghasilkan sejumlah kecil advocate dan pengacara kompeten, seperti yang disinggung oleh Keith Evans “Common Sense Rules of Advocacy for Lawyer”, 2010.
Seorang pengacara yang kompeten tidak perduli dengan ucapan orang-orang dibelakangnya, dia akan terus maju menyampaikan dengan lantang tentang prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
Seorang pengacara akan berbicara dengan dasar argumentasi yang mendasar tentang prinsip hukum dan keadilan, dia tidak akan tersinggung bila dirinya atau klienya dicerca dan dicemooh, namun seorang pengacara akan tersinggung, sedih bahkan marah bila hak-hak hukum dilanggar, prinsip-prinsip hukum dikesampingkan.
Bagi orang seperti saya, terlepas dari pilihan terhadap salah satu Capres/Cawapres di Pemilu 2024, sidang sengketa pemilu yang sedang berlangsung adalah ladang ilmu pengetahuan dalam memperdalam pengetahuan tentang ilmu hukum.
Melihat, mendengar, menilai sikap-sikap melalaui argumentasi hukum yang disampaikan baik diluar terkhusus diruang pengadilan.
Kwalitas sidang sengketa pilpres 2024 harus diakui jauh lebih memiliki tingkatan yang lebih rumit dari sebelum-sebelumnya yaitu 2014 dan 2019.
Dua permohonan yang diajukan baik dari TIM HUKUM pasangan capres/cawapres 01 dan 03 memiliki strategi dan redaksi subtansi yang bermutu tinggi.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pengacara selain memilik jam terbang harus memiliki jutaan literasi sehingga dapat menyampaikan argumen hukum berdasarkan landasan teoritikal dan prinsip-prinsip mendasar mendasar tentang doctrinal hukum positif, hukum alam/kodrat dan hubungan hukumnya. Baca juga: https://fusilatnews.com/etika-hukum-ahli-akal-akalan-hukum/
Sehingga mampu menjabarkan dengan benar dimana posisi etik/moral dan hukum positif, antara norma-norma hukum dan norma hukum positif yang berkaitan dengan hirarki perundang-undangan di Indonesia. Baca juga : https://fusilatnews.com/smester-satu-usman-teori-hukum-murni-hans-kelsen/
Perbedaan Model Hukum Pembuktian Mahkamah Konstitusi “Judex Norm” dan Mahkamah Agung “Judex Factie”
Mahkamah Konstitusi “Judex Norm”
Model hukum pembuktian di Mahkamah Konstitusi “judex norm” memiliki perbedaan signifikan dengan Mahkamah Agung “judex factie”.
Model pembuktian di mahkamah konstitusi berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum, prinsip-prinsip negara, prinsip-prinsip netralitas, prinsip pemilu jurdil, etika dan moral seorang pemimpin selain dari melibatkan antara prinsip hukum dan politik (tatanegara).
Hal ini disebabkan minimnya aturan yang bersifat rigit, spesifik dan tertutup yang mengatur seorang presiden dan mentri dalam mejalankan tugasnya, secara global memang demikian.
Setiap aturan dapat dibuat dan disahkan oleh presiden dan mentri untuk memuluskan dan melegalkan niat baik atau sebaliknya niat buruknya untuk mempertahankan kekuasaan atau menyingkirkan rintangan dalam menjalankan kebijakan.
Secara de facto dan de jure seorang presiden tidak hanya diakui oleh hukum nasional bahkan hukum internasional, sehingga setiap aturan yang dibuat memiliki legitimasi secara hukum, terlepas kebijakan dan sikap tersebut berpihak pada rakyat faksi.
Untuk mencapai satu kepastian dalam kehidupan masyarakat bernegara maka hukum negara berlaku, baik pidana, perdata, dan lainnya.
Acuan utama hukum Indonesia ialah dasar negara, yaitu “Panca-Sila” sebagai ideologi hukum “Recht Ideology”, selanjutnya UUD-NRI 1945 “fundamentals leges” sebagai kontrak kesepakatan masyarakat dengan pemerintahnya.
Asas hukum universal, pasal 1 menyatakan: Satu kepastian tidak dapat dicerca/dipersalahkan atas ketidakpastian “Certum proter incertum non est delinquendum”, maka hukum dibuat dan disahkan demi kepastian setiap masyarakat dalam kehidupan saling berdampingan, melalui prinsip “saya tidak dapat menyakiti dia, dan dia tidak dapat menyakiti mereka”.
Seperti yang disebutkan beberapa paragraph diatas, bahwa seorang presiden dan mentri tidak diatur dengan prinsip hukum yang ketat, rigit, dan spesifik.
Perjanjian masyarakat dengan penyelanggara negara berdasarkan hukum moral, hukum moral adalah UUD-NRI 1945 yang menuntut kehati-hatian sikap penyelanggaranya.
Sejalan dengan pandangan diatas, Johann Gotlibe Fitche, 2018 “Das System der Rechtslehre” menegaskan bahwa: “……hukum secara prinsip memerintah dengan du acara; a). memerintah tanpa syarat dalam kategori hukum (moral). b). memberikan perintah dengan kondisional; siapapun yang menginginkan ini dan itu, makai a harus bertindak sedemikian rupa, bersifat (pragmatis)”.
“…..Das praktische Gesetz ist ein doppeltes: a) es gebietet unbedingt, und kategorisch (das sittliche). b) es gebietet bedingt; wenn man diesen und diesen Zweck hat, so muss man so und so handeln (das pragmatische).
Asas hukum universal lain berbunyi : Kita harus berhati-hati denga apa yang harus kita dilakukan dimasa depan “Cavendum est de eo quod faciendum est in futurum”.
Seorang presiden dan pejabat negara lain sebagai Nahkoda dalam kehidupan bernegara, akan menghadapi suasana masa depan yang tidak memiliki kepastian.
Semua rencana dapat dibuat, namun lagi-lagi tentang masa depan yang tak seorangpun dapat memastikan, maka hukum moral diberikan kepada presiden, sehingga kebebasan menentukan arah negara dalam suasana kritis dapat menyesuaikan keadaan, contoh kondisi COVID-19 lalu.
Setiap presiden dapat mengarahkan kapal negara kearah yang diluar dari wacana-wacana sebelumnya, bayangkan bila aturan-aturan bersifat spesifik mengatur seorang presiden maka negara tersebut tenggelam dan bangkrut.
Hukum moral berlaku dalam tataran hukum konstitusi, dengan tuntutan bagi seorang presiden dan pejabat-pejabat negara memiliki kehati-hatian berbicara dan bersikap sehingga menjadi tauladan dalam bernegara “Ingarso sung tolodo”, dengan sikap tersebut maka secara otomatis seorang presiden dan pejabat negara akan mempersatukan rakyat, seperti lambang pohon bringin pada sila ketiga yang dikutip Prof. Soepomo dari istilah minang. Versi Indonesia berbunyi: “pohon besar ditengah padang, daunnya menjadi paying bagi masyarakat dari panas dan hujan, batangnya menjadi tempat bersandar, dan uratnya menjadi tempat duduk” dari frustasi menghadapi kehidupan sehari-hari yang terimbas dari dampak kebijakan politik
Dengan alasan-alasan singkat diatas semestinya tidak menanyakan bukti-bukti bersifat larangan konkrit seperti yang ditanyakan Otto Hasibuan kepada salah satu ahli yang dihadirkan pemohon tentang “larangan yang tidak membolehkan pemerintah memberikan bansos saat measuki masa kampanye”.
Akan tetapi, keterangan Sri Mulyani sebagai Mentri, keterangan Risma sebagai mentri sosial yang tak dilibatkan dalam pembagian bansos adalah bukti kuat telah menyalahi prinsip-prinsip konstitusi, prinsip-prinsip bernegara, prinsip bansos berdasarkan nomenklaturmnya dan prinsip-prinsip pemilu luber dan jurdil.
Mahkamah Agung
Sedangkan model pembuktian di pengadilan dibawah mahkamah agung, sesuai dengan aturan yang menentukan yaitu bersifat spesifik, rigit, dan tertutup.
Maka pembuktian juga demikian, yaitu pembuktian yang bersifat spresifik. Contoh dalam kasus Pidana, perdata maka pembuktian sekecil apapun harus dihadirkan kedalam pengadilan sehingga kebenaran materil atau kebenaran formil terlihat jelas.
Dalam kasus Jessica “Kopi sianida” atau Kasus Sambo CS, termasuk sedotan dan sidik jari juga akan dihadirkan sebagai barang bukti. Selain dari itu, waktu yang cukup, dan pembuktian tersebut melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Tidak demikian dengan Mahkamah Konstitusi.
Ungkapan-ungkapan Gosip Yusril, Otto dan Hotman di sidang MK
Ungakapan Yusril Ihza Mahendra terhadap ahli ekonomi, jebolan Leiden Unvesity yaitu, Anthony Budiawan diruang sidang Mahkamah Konstistusi yang mempertanyakan:
“Apakah ahli ini ahli hukum, ahli ekonomi, atau ahli nujum?’’
Pernyataan diatas menegaskan bahwa seorang Yusril dipastikan tidak memahami bahwa dalam konsep positivisme hukum bahwa pemahaman hukum tidak tunggal seperti pandangan Immanuel Kant, George Hegel,Hans Kelsen melainkan berkaitan dengan ekonomi.
Seorang Mantan Hakim Agung AS, Richard Posner penulis “The Analysis Ecomic of Law” mengkaji hukum dari sisi ekonomi.
Professor George Dellis dalam judul buku yang sama seperti Richard Posner, mengatakan bahwa: hukum dan ekonomi adalah abang adik, artinya yang tak mungkin dapat dipisahkan.
Bahkan Indonesia ikut serta dan tunduk dalam kesepakatan The United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI) di Tokyo 1973 dalam melahirkan kebijakan hukum pidana harus mendahulukan ekonomi. Dan dijadikan rujukan oleh Prof Barda Nawawi Arif, 2016 dalam “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”.
Dan dipastikan ungkapan Yusril tentang “Ahli Nujum” tidak ditemukan dalam literatur hukum manapun, ungkapan yang bersifat gossip dan tak bermutu terlebih diruang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, pertanyaan terhadap moral dan hukum dalam kaitannya code of ethics yang ditanyakan kepada Romo Magnis yang mengutip Immanuel Kant tentang moral sangat rendah, menunjukkan ia melupakan bahwa hakim menjadikan norma-norma hukum walaupun tidak dimasukkan dalam code of ethics yang bersifat hukum konkrit, namun dalam hukum Konstitusi (UUD-NRI 1945) diakui dan menjadikan pertimbangan bagi hakim dalam memtus perkara “hakim menimbang rasa keadilan dimasyarakat dalam memutus perkara” sesuai penjabaran Soepomo, 1975 dalam “Bab-Bab Hukum Adat”, hlm 36, dalam hukum perdata, dikecualikan dalam hukum pidana.
Demikian juga Otto Hasibuan, sejak awal mengatakan bahwa ia tersinggung sebab kliennya seolah-olah dituduh menang dari hasil curang.
Seorang ahli hukum memasuki ranah pribadi klien, bagaimana mungkin? Seoarang ahli hukum akan tersinggung hanya membela hak hukum klien, bukan perasaan, dan narasi buruk.
Ahli akan tersinggung apabila prinsip-prinsip hukum dan keadilan dikebiri, dikesampingkan dalam penegakan hukum bernegara.
Demikian juga Hotman, ungkapan-ungkapan rendah seperti; “omon-omon” benar-benar tak layak dan tak mendidik diruang pengadilan konstitusi, dan tak dikenal dalam literatur hukum manapun.
Dalam konsep pembuktian di mahkamah konstitusi hakim bahkan dapat mengesampingkan fakta namun tidak terhadap ketidaktaan pada hukum, seperti asas hukum “Ignorantia Excusatur Non Juris Sed Facti”.
Asas diatas adalah turunan dari asas pentingnya ketaatan terhadap pemberlakuan suatu hukum dalam suatu negara “Ignorantia Legis neminem Excusat”.
Suatu hukum yang telah disahkan wajib untuk ditaati, dan apabila ada yang melanggar termasuk yang sekalipun tidak mengetahui harus dihukum oleh penegak hukum, tanpa harus melaporkan seperti pelanggaran prinsip-prinsip pemilu.
Tujuannya adalah menjaga marwah dalam bernegara, mejaga kehormatan pembnetuk undang-undang yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah.
Seorang praktisi supranatural akan berbicara tanpa dasar dasar non logis, dengan penampilan mendukung. Seharusnya, tidak demikian dengan praktisi hukum. Hotman, Otto dan Yusril menunjukkan mereka terjebak dengan kasus artis-artis gossip yang tidak lebih baik dari praktisi suprantural.