Di banyak belahan dunia, bunga sakura hanyalah sekumpulan kelopak merah muda yang bermekaran indah setiap musim semi. Tapi di Jepang, sakura bukan sekadar bunga—ia adalah lambang, narasi, bahkan filsafat kehidupan. Bunga ini telah lama menyatu dengan denyut nadi budaya Jepang, menjadi sakral bukan karena bentuknya, melainkan karena makna yang ditanamkan masyarakat terhadapnya.
Mekarnya sakura hanya sekejap—sekitar satu hingga dua minggu. Lalu ia gugur, ringan dan sunyi, seolah tak pernah ingin merepotkan bumi tempatnya berpijak. Dari sini, lahirlah konsep mono no aware, sebuah kesadaran estetis bahwa keindahan hidup justru terletak pada kefanaannya. Orang Jepang melihat sakura sebagai pengingat bahwa segala hal indah di dunia ini tak akan abadi—dan karena itulah ia patut dirayakan, direnungi, dan disyukuri selagi ada.
Sakura juga mencerminkan jiwa samurai. Para ksatria Jepang zaman dahulu menjadikan sakura sebagai metafora hidup mereka—berani, bermartabat, dan siap gugur kapan saja demi kehormatan. Gugurnya kelopak sakura yang lembut namun tak terelakkan menggambarkan kematian yang diterima dengan tenang, tanpa drama, tanpa ratapan. Inilah puncak dari nilai bushido—etika keberanian dan ketulusan hidup seorang samurai.
Tak hanya dalam filosofi, sakura juga hidup dalam tradisi. Hanami, atau pesta melihat bunga, bukan semata momen piknik. Ia adalah waktu di mana keluarga dan teman berkumpul di bawah pohon sakura, berbagi tawa, makanan, dan cerita. Dalam keindahan yang sementara, tercipta keintiman yang abadi. Hanami adalah bentuk penghormatan terhadap waktu, terhadap alam, dan terhadap momen yang tidak bisa diulang.
Sakura juga mekar dalam seni dan sastra Jepang. Dalam bait-bait haiku, dalam lukisan-lukisan ukiyo-e, bahkan dalam lagu pop modern—sakura adalah simbol emosi, harapan, kehilangan, dan kenangan. Ia tidak hanya tumbuh di taman, tapi juga di dalam batin orang Jepang.
Uniknya, sakura pun pernah dipinjam sebagai simbol nasionalisme Jepang pada masa perang. Para pilot kamikaze mengibaratkan diri mereka sebagai kelopak sakura yang gugur demi tanah air. Meski tragis, ini menunjukkan betapa kuatnya bunga ini menembus ruang privat hingga publik, dari renungan personal hingga semangat kolektif.
Di luar Jepang, sakura mungkin hanya bunga. Tapi di negeri asalnya, ia adalah jiwa yang bermekaran tiap musim semi, mengajarkan manusia tentang waktu, tentang kehilangan, dan tentang keindahan yang tak harus abadi.