Tulisan ini, dikembangkan dari Twit Dr. Tifa dalam Twitnya (Almarhum Ir Hari Mulyono memberi nama anak-anaknya, Rimbo dan Silva, yang dua-duanya artinya Hutan, karena beliau Insinyur Kehutanan UGM. Mengikuti tradisi Alumnus UGM yang suka memberi nama anak-anaknya dengan nama Fakultas dimana orangtuanya kuliah. Yang kuliah Kedokteran, nama anak Medica, Caesaria, Pediantara, Yang kuliah Kedokteran Gigi nama anaknya Dentisia, Molanita, Canina, Yang kuliah Kedokteran Hewan, nama anaknya Vetirina, Vetaria Yang kuliah Pertanian, nama anaknya Oryza, Zea, Hortia Yang kuliah Hukum, nama anaknya Yudika, Magnalia, Justisia Jarang atau malah ngga ada lulusan UGM anaknya dinamai Samsul, Gedang)
Namun, ada satu hal yang menonjol dalam tradisi penamaan ini, yaitu tendensinya untuk menamai anak-anak dengan istilah yang terdengar ilmiah, latin, atau sesuai dengan bidang studi orang tua mereka. Para lulusan Kedokteran Gigi memberi nama anak-anak mereka Dentisia, Molanita, atau Canina—mungkin berharap anak-anak mereka tumbuh dengan gigi yang kuat dan cemerlang, siapa tahu?
Bahkan, alumni Fakultas Kedokteran Hewan tak mau kalah dengan nama-nama seperti Vetirina dan Vetaria. Sementara itu, para lulusan Fakultas Pertanian memilih nama seperti Oryza, Zea, atau Hortia, seolah ingin memastikan bahwa generasi berikutnya terus terhubung dengan alam dan tanah subur Indonesia. Atau alumni Fakultas Hukum yang memberi nama Yudika, Magnalia, atau Justisia, berharap mereka tumbuh menjadi pejuang keadilan sejak dini.
Namun, ada satu hal yang aneh dalam tradisi ini: kenapa tidak pernah kita dengar alumni UGM menamai anak mereka dengan nama seperti Samsul atau Gedang? Mungkin nama-nama ini dianggap kurang keren, kurang ilmiah, atau terlalu merakyat untuk selera lulusan kampus bergengsi ini.
Dan di sinilah anak-anak Presiden Jokowi masuk dalam perbincangan. Gibran, Kahiyang, dan Kaesang—ketiganya terdengar akrab di telinga kita, tetapi sepertinya tidak mengikuti tren penamaan unik khas UGM. Mungkin almarhum Ir. Hari Mulyono, yang memberi nama anak-anaknya Rimbo dan Silva (keduanya berarti hutan), adalah salah satu lulusan UGM yang sangat patuh pada tradisi ini.
Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika Jokowi mengikuti jejak para lulusan UGM lainnya? Mungkin anak-anaknya akan memiliki nama yang lebih ilmiah, seperti Agrina untuk menghormati Fakultas Pertanian, atau bahkan nama yang lebih menarik seperti Civika untuk mengingatkan kita akan pentingnya pembangunan infrastruktur.
Tetapi kenyataannya, Gibran, Kahiyang, dan Kaesang tampaknya tetap pada nama-nama yang lebih sederhana. Mungkin ini adalah bentuk perlawanan halus terhadap stereotip nama yang beredar di kalangan para alumni UGM. Atau mungkin, nama-nama itu diberikan dengan harapan bahwa mereka akan selalu dekat dengan rakyat, tidak seperti nama-nama latin yang terdengar mewah namun berpotensi menjauhkan dari kenyataan hidup sehari-hari.
Siapa tahu, di masa depan kita akan mendengar lebih banyak alumni UGM dengan nama yang lebih merakyat seperti Samsul atau Gedang, yang mengingatkan kita pada buah dan rasa humor lokal yang otentik. Atau mungkin tidak, karena bagaimanapun juga, apa artinya sebuah nama, kan? Selama bukan nama seperti “Magna Cum Laude” atau “Licentia Poetica,” kita mungkin baik-baik saja.