Saudaraku, wajah Jakarta kini tampak berubah begitu cepat, seakan melepaskan bayang-bayang masa lalunya yang megah sebagai **”Ratu Dunia Timur”** (the Queen of the East) dalam imaji Belanda, menuju wujud yang lebih kelam—**”kota kengerian”** (the dreadful city), sebagaimana dilukiskan Rudyard Kipling. Kota ini tak lagi beresonansi dengan keanggunan yang pernah dimilikinya, melainkan berkembang dalam kekacauan, membiarkan ketidakpastian dan kerusakan moral merasuki setiap sudutnya.
Jakarta, dan mungkin kota-kota lain di Indonesia, tumbuh tanpa arah yang jelas, melawan arus teori pembangunan kota yang seharusnya berakar pada keteraturan dan rasionalitas. Dalam pandangan **Max Weber**, kota ideal adalah ruang yang direncanakan bagi mereka yang **berbudaya** dan **rasional**, tempat tatanan sosial dan intelektual bertemu, membentuk harmoni antara manusia dan lingkungan. Namun, di sini, harmoni tersebut terasa jauh.
Alih-alih menjadi kota **ortogenetik**—seperti Cordova di masa keemasan Islam, Kyoto di bawah naungan Buddha, Roma dengan nuansa Katoliknya yang sakral, atau Banaras yang dipenuhi spiritualitas Hindu—Jakarta dan kota-kota kita tumbuh dalam disonansi. Mereka tidak mengekspresikan keindahan moral yang luhur, tetapi sebaliknya, menjelma menjadi **”chaotic heterogenic cities”**—kota-kota yang penuh ambiguitas, disintegrasi, dan ketidakteraturan. Di dalamnya, nilai-nilai luhur tenggelam dalam lautan hiruk-pikuk tanpa arah, bagaikan **hollow cities**—kota-kota hampa sebagaimana dibayangkan Clifford Geertz, ruang-ruang tanpa jiwa, tanpa visi, tanpa makna.
Geertz sendiri, dalam **The Social History of an Indonesian Town** (1965), mengungkap akar persoalan ini. Menurutnya, kekacauan, kepadatan, dan disorientasi yang melanda sebagian besar kota di Indonesia bukanlah fenomena baru. Ini adalah akibat dari jurang besar antara sektor komersial yang dikuasai modal asing dan sektor subsisten yang dipegang erat oleh penduduk lokal. Hasilnya adalah segregasi yang begitu mencolok antara **ekonomi modern** yang bersifat kosmopolitan dan **tradisi lokal** yang terpinggirkan.
Urbanisasi yang terjadi di Indonesia bukanlah proses alami di mana desa perlahan berubah menjadi kota. Sebaliknya, ini adalah **intrusi** dari kekuatan asing yang mengadopsi watak kosmopolitan tanpa memperhitungkan akar budaya setempat. Proses ini menekan masyarakat lokal, memaksa mereka menerima struktur sosial dan ekonomi yang benar-benar asing, tanpa memberikan ruang bagi identitas mereka untuk berkembang secara organik.
Kota-kota Indonesia akhirnya tumbuh dalam ambiguitas, terombang-ambing di antara dua kutub. Di satu sisi, karakter kota tradisional dunia Timur perlahan memudar. Di sisi lain, rasionalitas dan modernitas kota-kota Barat belum sepenuhnya menjelma. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, apartemen mewah dibangun di sana-sini, tetapi di balik fasad megah ini, **mentalitas udik** tetap bertahan. Kota ini bak hutan beton tanpa jiwa, di mana pembangunan fisik tak disertai oleh pembangunan ideasional. Di bawah bayangan modernitas, kota-kota kita kehilangan jiwanya—menjadi ruang yang kering, tanpa keindahan, tanpa moral, tanpa semangat yang mempersatukan masyarakatnya.
Di tengah hutan beton ini, yang tersisa hanyalah kerinduan akan sebuah kota yang tak hanya tumbuh dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam jiwa, visi, dan karakter yang kuat.