Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Setiap hubungan hukum terdiri atas hubungan antara seseorang dengan orang lain, komponen pertama memerlukan pertimbangan lebih dekat sehingga mengenal lebih dekat sifat orang-orang yang memiliki hubungan timbal balik sehingga mampu membangun dan membentuk hubungan timbal balik antara satu dengan yang lain, dan tidak adanya penolakan, oleh karena setiap hubungan hukum alam harus dapat dijelaskan (Friedrich Karl von Savigny, 1840).
Recent years, pertanyaan tentang kata asal usul kata BATAK mendapat perhatian khusus dari beberapa kelompok masyarakat. Kelompok Masyarakat Mandailing dan Karo adalah dua dari kelompok masyarakat Adat Sumatera Utara yang mempertanyakan dan memberikan penolakan tentang penyematan “Batak” yang di alamatkan pada Adat masing-masing.
Secara ilmiah, pertanyaan dan penolakan yang timbul tersebut tentunya sangat beralasan, demi mempertahankan eksistensi dan orisinalitas ide-ide da entitas (identitas) asli, baik budaya serta agama, sehingga terjaga secara sosial, politik dan perkembangan zaman.
Masyarakat Sumatera Utara yang memiliki Marga secara umum disebut sebagai Suku Batak, secara ras, bahasa, bahasa, agama memiliki perbedaan, namun pengelolaan pengelompokan ini di yakini pemberian Kolonial Belanda demi mempeemudah identifikasi Kolonial kala itu, tujuan lain dari pengelompokan tersebut bertujuan untuk mempermudah harmonisasi masyarakat yang secara hukum alam dan sosiologis memiliki potensi perpepecahan yang besar.
Contoh konkrit dari penyatuan pengelompokan ini adalah adanya subsidi silang marga, seperti Marga Nasution dari Tapanuli Selatan, yang secara turun temurun adalah Islam, dengan Simanjuntak dari Tapanuli Utara (Toba), dan secara turun temurun beragama Nasrani.
Simanjuntak dan Nasution secara adat dianggap sebagai abang dan adik, dimana tak seorangpun dapat menjelaskan asal dan usul history dibaliknya.
Secara hukum alam dan hukum agama kedua kelompok marga ini memilki potensi besar melahirkan pertikaian. Secara hukum alam, potensi pertikaian ini lahir dari sifat alamiah manusia yang ingin mempertahan eksistensinya dalam kehidupan (homo homini lupus), dan secara hukum agama tembok batasan perbedaan yang tebal dapat menjadi pemicu perselisihan dan menimbulkan pertikaian. Dua potensi besar tersebut dapat di cegah melalui hukum Adat.
Apabila, antara A (Simanjuntak) dan B (Nasution) bertikai, bila A membawa ke ranah hukum positive dan melaporkan pada pihak penegak hukum, maka potensi pertikaian berkembang lebih luas, secara alamiah keluarga A dan B akan terseret kedalam jurang saling benci dan harmonisasi masyarakat dalam bernegara runtuh.
Tujuan hukum berdasarkan sosiologis adalah menjaga harmonisasi masyarakat dalam bernegara, hukum adat “social norm” memiliki fungsi yaitu; Pertama, sebagai jembatan perekonomian. Kedua, jembatan hubungan harmonisasi. Ketiga, hukuman (Pidana) itu sendiri (Max Webber, dalam Christine M. Hassentab, 2015).
Hukum Agama dan Hukum positive memiliki kendala dalam penyelesaian kasus A dan B. Namun, apabila kasus A dan B diselesaikan oleh hukum Adat, maka harmonisasi masyarakat terjallin lebih baik, bagi negara dan kedua belah pihak lebih bermanfaat, tentunya hal ini hanya berlaku dalam Pidana ringan.
Asal Usul Kata Batak
Sebelum masuknya agama dalam kehidupan masyarakat Nusantara, baik Hindu, Budha, Kristen, dan Agama Islam, pada dasarnya masyarakat ini telah memiliki keyakinan masing-masing dan menyembah sesuatu bersifat sakral, walaupun metode penyembahan berbeda dari yang di fahami saat ini.
Konsep ketuhanan ini dalam tradisi masyarakat asli Sumatra Utara telah membagi atas tujuh surga. Di surga tertinggi atau ketujuh bertahta Diebata, wujud tertinggi yang kekal dan tertinggi, di dalamnya dibedakan menjadi dualisme, yaitu: kehendak maha bijaksana, dengan nama DIEBATA MANOENGGAL dan daya cipta dan penopang, dengan nama DIEBATA MANGANAÖ, dua Konsep tersebut tanpa melanggar konsep kesatuan makhluk tertinggi ini.
Di surga keenam bersemayam DAYANG MARNJALAN-JALA di langit (perawan surga yang kecantikan nya bercahaya indah), dia adalah putri Diebata, berkuasa atas cahaya, dan melayani ayahnya sebagai utusan, yaitu DANG BATARI, hakim laki-laki, juga tinggal bersamanya.
Di surga kelima adalah RUMBIO KAYO, mengawasi panen, ternak, dan kekayaan alam. dan di bawah Putri Diebata menyampaikan perintah dari surga ketujuh.
Di surga keempat adalah DAYANG BIENTANG BRAYON, menjaga tumbuh-tumbuhan dan khususnya tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat atau racun bagi manusia.
Langit ketiga dihuni oleh DATO OBAL BALOETAN dan DATO SIOEBONG HOSSA, dengan tugas menandai usia manusia dan terutama mengamati pertempuran. Dato Obal Baloetan melindungi hewan-hewan dengan perisai tak kasat mata, yang melindungi mereka dari peluru, panah, sayatan, dan tusukan. Dato Sioebong hossa memperpanjang atau menghilangkan nafas orang yang sekarat (mencabut nyawa). Di sinilah tempat tinggal roh-roh baik, yang secara kolektif menyandang nama TINAGASAN.
Surga kedua adalah alam NAMORA SETHAN, pemimpin roh jahat, dia hidup dirantai di kediamannya Aijora Djumba Porang, sampai kejahatan manusia membangkitkan murka Diebata, kemudian Namora Sethan dilepaskan, dan menyebarkan perselisihan, kebencian, pertumpahan darah, dan penyakit ke seluruh bumi. Ia dikenali dari giginya yang menyerupai senjata perang yang tajam, juga kepada burung besar Amporik Garoedoe yang biasa menemaninya dan mempercepat perbuatan jahatnya. dan-
Surga pertama adalah rumah BAOROE RANGAPURIE BATOETONG, dewa pendamping perempuan, dia adalah setan yang mendorong ketidaksucian dan perbuatan hubungan terlarang sehingga perempuan ingin melayani niat jahat para suami. Selain itu, dia juga yang disebut NAMORA SI DANGBELLA, kaki tangan iblis untuk perbuatan jahat yang membutuhkan kekerasan.
Pintu masuk kerajaan surga dijaga oleh OMPONG RANDONG NAMONOR, tugas khusus adalah menerima roh orang yang telah meninggal, namun terlebih dahulu membimbing roh-roh menuju DANG BATARI. Secara khusus, ia juga bertugas mencatat sumpah yang diambil oleh orang-orang atau janji-janji setiap orang dan memberikan laporan pada DIEBATA (Thomas Josephus Willer, 1842).
DIEBATA adalah kata yang menjadi sumber dasar lahirnya kata BATAK “Battach,” dengan arti bahwa Kelompok masyarakat Sumatra Utara adalah masyarakat yang meyakini adanya kekuatan yang maha kuasa sebelum masuknya Agama yang perlahan demi perlahan melalui hukum Agama merubah kebiasaan-kebiasan dan sifat masyarakat.
Cerita yang sama terjadi dalam tradisi masyarakat Asli Bugis, Sulawesi. Calalai dan Calabai yang hingga kini hidup bahkan diakui secara ilmu serjarah adalah bagian bukti lahirnya kata Bugis (Bessi) yang menjadi dasar penyematan kata BUGIS pada suku tersebut, dimana suatu kelompok masyarakat yang secara turun temurun meyakini kepercayaan Attoriolong (kepercayaan nenek moyang).
Kebenaran mutlak tidak dapat di klaim secara sepihak, namun secara ilmiah bahwa penyematan kata pada Adat Bugis diambil dari dasar historical yang sama, selain daripada itu, kata DIEBATA dan BATARI tentunya memiliki alasan yang kuat sebagai dasar lahirnya kata BATAK “BATTACH” bahwa pada masa sebelum masuk Agama secara umum mereka di sebut sebagai masyarakat penyembah satu sistem Ketuhanan, walaupun kelompok ini banyak perbedaan, namun intraksi sosial saat itu tentunya membuat adanya kesamaan dalam hal hal lain.