Kebijakan terbaru pemerintah yang memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun di Ibu Kota Negara (IKN) baru telah memicu kontroversi dan berbagai pertanyaan kritis dari masyarakat. Kebijakan ini berarti dalam rentang waktu tersebut, Indonesia akan mengalami sekitar 38 kali pergantian presiden. Kebijakan ini dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah yang berlebihan dan kewenangan yang diluar batas kewajaran.
Menganalisis dampak kebijakan ini, kita harus melihat jauh ke depan, ke generasi yang bahkan mungkin tidak bisa membayangkan masa depan kita saat ini. Investor yang diberikan hak menguasai lahan selama 190 tahun akan menikmati keuntungan jangka panjang yang luar biasa. Mereka akan memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan, mengoperasikan, dan memanen hasil dari investasi mereka tanpa khawatir tentang perpanjangan izin atau perubahan kebijakan yang signifikan.
Namun, pertanyaan yang mendasar adalah: Apa yang akan didapatkan oleh masyarakat dan negara dari kebijakan ini dalam jangka waktu yang begitu panjang? Sejarah telah menunjukkan bahwa penjajahan, meskipun penuh penderitaan, sering kali meninggalkan warisan infrastruktur dan sistem yang bertahan lama. Selama 350 tahun di bawah penjajahan Belanda, Indonesia memperoleh berbagai sistem yang bermanfaat seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, transportasi, dan arsitektur. Di Hong Kong, penjajahan Inggris menghasilkan masyarakat yang maju dengan infrastruktur kelas dunia dan sistem pemerintahan yang efisien.
Tetapi, apakah pemberian HGU selama 190 tahun dapat dianggap setara dengan kolonialisme yang membawa keuntungan jangka panjang bagi rakyat? Berbeda dengan kolonialisme yang pada akhirnya memberikan beberapa keuntungan tak terduga, kebijakan ini lebih mirip dengan penjualan aset negara kepada pihak asing untuk jangka waktu yang sangat panjang. Ini bisa berarti bahwa kendali atas sumber daya dan tanah strategis berada di tangan investor luar negeri untuk hampir dua abad, tanpa kepastian bahwa manfaatnya akan dirasakan oleh generasi mendatang.
Investor tentu saja akan membangun infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan mungkin memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Namun, pertanyaannya tetap apakah keuntungan ini akan berkelanjutan dan adil bagi rakyat Indonesia. Ada risiko besar bahwa setelah beberapa dekade, tanah yang dikuasai oleh investor akan kehilangan nilai strategisnya bagi kepentingan nasional, sementara keuntungan utama telah dipanen oleh pihak asing.
Selain itu, masa depan selalu penuh dengan ketidakpastian. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik bisa berubah drastis dalam beberapa dekade, apalagi dalam 190 tahun. Kebijakan yang tampaknya menguntungkan saat ini bisa menjadi beban di masa depan. Generasi mendatang mungkin akan menghadapi tantangan besar untuk merebut kembali kendali atas tanah yang telah dikuasai investor asing selama hampir dua abad.
Kewenangan yang diberikan kepada investor dengan kebijakan HGU 190 tahun adalah langkah yang sangat berisiko dan harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Ini bukan hanya tentang menarik investasi jangka panjang, tetapi juga tentang memastikan bahwa manfaat dari kebijakan tersebut dirasakan oleh rakyat Indonesia dalam jangka panjang. Pemerintah harus mempertimbangkan mekanisme yang memastikan bahwa kendali dan manfaat atas tanah dan sumber daya strategis tetap berada di tangan bangsa Indonesia, bahkan setelah puluhan pergantian presiden. Kebijakan yang berlebihan ini harus dievaluasi kembali demi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua rakyat Indonesia.