Ketika seseorang dideklarasikan sebagai nabi, sebuah garis demarkasi segera tercipta. Di satu sisi, ada yang percaya sepenuh hati, menunduk dengan takzim kepada setiap kata yang ia ucapkan. Di sisi lain, ada yang menolak, mencemooh, bahkan ingin menyingkirkannya dari muka bumi. Dan anehnya, sejarah mencatat bahwa semakin banyak penolakan dan cemoohan yang diterima seorang nabi, justru semakin besar pula gaung kenabiannya terdengar. Bukankah itu ironi? Penolakan dan hujatan ternyata bukan pelemah, tapi malah penguat dari sebuah risalah ilahi.
Di sinilah letak keunikan sosok nabi: ia bukan sekadar manusia terpilih, tapi manusia yang “dipaksa” untuk bertahan di tengah badai cemooh, karena ia membawa suara yang terlalu agung untuk dimengerti dengan logika duniawi. Maka tak jarang, orang justru merasa iri kepada nabi. Bukan iri pada deritanya, tapi pada legitimasi langit yang menyertainya. Iri karena ia bisa bicara tanpa takut salah, karena kata-katanya membawa bobot Tuhan, karena geraknya seolah selalu dalam bimbingan ilahi. Siapa yang tak tergoda untuk jadi “nabi” di tengah dunia yang serba gaduh ini? Siapa yang tak ingin ucapannya dipercaya penuh sebagai kebenaran mutlak?
Namun muncul satu pertanyaan mendasar yang tak bisa diabaikan: “Apakah Tuhan benar-benar perlu mengutus nabi dan rasul? Bukankah Tuhan Mahakuasa? Jika Ia mau, bukankah Ia bisa langsung mengubah hati manusia tanpa perlu perantara?”
Pertanyaan ini menggoda dan mendalam. Tapi justru dari pertanyaan ini kita bisa belajar tentang hakikat kemanusiaan dan hubungan spiritual kita dengan Sang Pencipta.
Tuhan, dalam kebesarannya, memang tak perlu apa pun. Ia tidak kekurangan daya atau strategi. Tapi manusia — makhluk yang rapuh dan penuh keraguan ini — butuh sesuatu yang lebih dari sekadar petunjuk abstrak. Manusia butuh teladan, sosok nyata yang bisa disentuh, dijumpai, dijadikan contoh. Nabi adalah bentuk konkret dari pesan langit yang dibumikan. Ia adalah “metafora hidup” dari kehendak Tuhan.
Tuhan mengutus nabi bukan karena Ia tak mampu bicara langsung, tapi karena manusia tak mampu mendengar langsung. Telinga kita terlalu penuh dengan ego, mata kita terlalu disilaukan dunia, dan hati kita terlalu bising dengan ambisi. Maka nabi datang sebagai cermin, bukan hanya untuk menunjukkan wajah kita, tapi juga arah cahaya.
Dan begitulah, jalan kenabian adalah jalan sunyi yang tak selalu penuh pujian. Kadang lebih banyak batu dari pada bunga. Tapi di situlah letak keistimewaannya. Mereka yang menolak nabi, seringkali bukan karena tak paham, tapi karena tak rela. Mereka tak sudi tunduk pada sesama manusia, walau yang satu itu membawa cahaya dari langit. Mereka iri bukan hanya pada kekhususan nabi, tapi juga pada fakta bahwa mereka bukanlah nabi.
Maka tak heran jika sejarah nabi-nabi selalu diiringi dengan rasa curiga, dengki, bahkan ancaman pembunuhan. Bukan hanya karena ajaran yang mereka bawa, tapi karena eksistensinya mengusik tatanan lama. Seorang nabi mengguncang kenyamanan, membongkar kemapanan, dan memaksa manusia melihat ke dalam dirinya sendiri — sesuatu yang tak semua orang sanggup lakukan.
Pada akhirnya, iri kepada nabi adalah refleksi dari ketidakmampuan kita menampung kebenaran yang menyakitkan: bahwa mungkin, kita hanya ingin menjadi benar tanpa perlu menjadi baik. Kita ingin didengar tanpa perlu memperbaiki diri. Kita ingin berkuasa, tapi tak mau diuji.
Dan mungkin, di situlah alasan mengapa nabi diutus — agar kita tak hanya tahu Tuhan itu ada, tapi juga belajar bagaimana cara menjadi manusia yang layak berada dalam cahaya-Nya.