Di tengah riuh rendah zaman modern, manusia sering terjebak dalam labirin ilusif bernama kemewahan. Narasi kehidupan kontemporer menggiring kita pada sebuah dogma bahwa kebahagiaan sejati adalah residu dari harta yang melimpah. Namun, benarkah demikian? Adakah kekayaan benar-benar menjadi kunci tunggal menuju eudaimonia—kebahagiaan sejati seperti yang diungkapkan Aristoteles?
Lihatlah mereka yang berjubah sutra, melangkah di atas karpet merah, berhiaskan gemerlap berlian. Di balik senyum yang tampak sempurna, terselip jejak-jejak ennui, kehampaan yang tak terdefinisikan. Kekayaan, meski tampak sebagai oasis, sering kali hanyalah fatamorgana yang menipu. Ia mampu membeli segala sesuatu, kecuali jiwa yang tenang dan hati yang lapang. Riches may fill the wallet, but seldom the soul.
Sebaliknya, di sudut-sudut sunyi dunia, ada mereka yang mungkin tak memiliki apa-apa, kecuali hati yang penuh syukur. Anak kecil di desa, tertawa riang hanya dengan bola dari anyaman daun kelapa. Petani tua, memetik hasil panennya dengan senyum penuh makna, meski punggungnya telah bungkuk oleh kerasnya hidup. Kebahagiaan mereka sederhana namun autentik, lahir dari jiwa yang contentus, merasa cukup dan berserah pada takdir.
Dunia modern sering kali membelenggu kita dengan consumerism, sebuah pandangan sempit yang membuat manusia mengejar hal-hal material tanpa henti. Namun, pada akhirnya, kebahagiaan adalah soal equilibrium—keseimbangan antara keinginan dan penerimaan. Bagi yang bijak, kekayaan sejati bukanlah tumpukan emas, tetapi jiwa yang bebas dari belenggu keinginan berlebih.
Sebagaimana dikatakan oleh Seneca, “It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor.” Maka, kekayaan sejati adalah saat kita menemukan kebahagiaan dalam hal-hal yang sederhana. Seperti secangkir kopi pagi, pelukan hangat keluarga, atau doa lirih di sepertiga malam.
Di dunia yang terus bergulir ini, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi kaya namun hampa, atau sederhana namun bahagia. Tidak semua yang bahagia adalah orang kaya, dan tidak semua orang kaya merasakan bahagia. Karena kebahagiaan, de facto, adalah harta yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memahami seni menikmati hidup, bukan sekadar memilikinya.
Kita adalah pencipta kebahagiaan kita sendiri. Dan sejatinya, harta terbesar bukanlah apa yang kita miliki, melainkan apa yang kita syukuri.