“Dream as if you’ll live forever, live as if you’ll die today.”
Ungkapan ini, sebuah adagium yang menggema melintasi ruang dan waktu, menuntun kita untuk menelisik makna eksistensi. Sebuah paradoks yang memadukan keabadian angan dengan kefanaan hidup, seolah menjadi saksi bisu dialog antara eternitas dan transitorius.
Hidup adalah sebuah simfoni misterius. Dalam setiap nadanya, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi voyager yang menjelajahi kemungkinan atau menjadi spectator yang sekadar menikmati pertunjukan. Mimpi adalah energi yang membakar jiwa, ignis fatuus yang membimbing langkah kita meski melintasi gelap. Ia adalah katalis bagi keberanian untuk melompat menuju terra incognita—wilayah yang tak terpetakan, penuh risiko, namun juga harapan.
Tetapi, ada ironi yang menghantui: hidup itu rapuh, fragile seperti kaca yang dapat pecah kapan saja. Setiap tarikan napas adalah reminder akan kefanaan, bahwa waktu bukanlah infinite resource. Dalam detik-detik yang terus berlalu, apa yang telah kita ukir? Apakah kita telah menciptakan harmoni, atau hanya gema dari kebisingan sia-sia?
Mimpi dan Realitas: Sebuah Dialektika
Berani bermimpi seolah kita hidup selamanya adalah seni melampaui batas; to transcend limitations. Di sana, kita bebas melukis visi tanpa takut dihantui oleh bayangan kegagalan. Namun, memaknai hidup seperti akan mati hari ini memaksa kita untuk hadir sepenuhnya, to be fully present in the now. Kedua prinsip ini tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi—yin dan yang dalam tarian eksistensial kita.
Mimpi adalah manifesto dari keinginan yang melampaui fisik. Ia membawa kita menuju dimensi yang lebih besar dari sekadar rutinitas harian. Sementara itu, hidup dalam kesadaran akan kematian adalah pengingat bahwa kita harus menciptakan legacy yang bermakna, sebuah footprint yang tak terhapus oleh waktu.
Menjadi Maestro Kehidupan
Hidup bukanlah sekadar rangkaian hari yang berlalu seperti déjà vu. Hidup adalah panggung, dan kita adalah maestro yang mengatur tempo, dinamika, dan klimaksnya. Jika kita bermimpi seperti akan hidup selamanya, kita memelihara semangat untuk terus berinovasi. Jika kita hidup seperti akan mati hari ini, kita memaknai setiap momen sebagai magnum opus yang tak ternilai.
Dalam kerangka filsafat eksistensialisme, Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Man is condemned to be free.” Kebebasan adalah takdir kita, tetapi bersamanya lahir tanggung jawab untuk mengarungi kehidupan dengan penuh kesadaran. Hidup adalah kanvas kosong, dan kita adalah senimannya.
Epilog: Jejak di Tengah Kefanaan
Ketika akhirnya waktu tiba dan kita menutup mata untuk terakhir kalinya, apa yang akan kita tinggalkan? Mimpi-mimpi besar yang menjadi realitas, atau sekadar angan yang hilang tertiup angin?
“Dream as if you’ll live forever, live as if you’ll die today.”
Ungkapan ini mengajarkan kita untuk merayakan kontradiksi yang ada dalam hidup: keberanian bermimpi tanpa batas dan kebijaksanaan menghadapi kenyataan dengan humility. Semoga dalam perjalanan ini, kita dapat menjadi pilgrim of meaning yang mengukir sejarah, bukan sekadar menjadi penonton yang dilupakan oleh waktu.