Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212.
KPU, terutama Ketua KPU Hasyim Ashari, tidak boleh menganggap remeh kasus-kasus kecurangan yang terkait dengan pemilihan presiden sebelumnya. Jika terjadi lagi dan terbukti publik mengetahuinya, sanksi hanya sebatas pelanggaran etika bagi Hasyim Ashari karena keterlibatannya dalam hubungan pribadi dengan Hasnaeni, yang dikenal sebagai “si wanita emas”. Hanya dikenai sanksi peringatan terakhir tidaklah mencukupi. Pola pikir seperti ini, jika merajalela di kalangan anggota KPU, menunjukkan kurangnya sensitivitas terhadap hak demokratis warga negara Indonesia dalam menentukan pemimpin masa depan dan perwakilan mereka dalam pemilu presiden dan legislatif.
Salah satu kecurangan yang pernah terjadi menjelang pemilu 2024 adalah pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. Anwar, yang juga merupakan paman dari calon wakil presiden, Gibran Rakabumi Raka, telah melanggar etika hakim dengan menyidangkan perkara yang memiliki keterkaitan keluarga langsung dengannya. Sebagai hakim MK, Anwar seharusnya tidak boleh menyidangkan perkara yang melibatkan anggota keluarga terdekatnya. Pelanggaran ini terkait dengan batasan usia minimal 40 tahun untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Atas pelanggaran etik ini, Anwar Usman dipecat dari jabatannya sebagai Ketua MK dan juga sebagai hakim MK oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Setelah pemecatan Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, publik melalui kelompok TPUA di Polda Metro Jaya melaporkan kasus ini dengan tuduhan nepotisme. Sekitar dua bulan kemudian, Anwar juga dilaporkan oleh kelompok petisi 100 di Mabes Polri. Namun, hingga saat ini belum jelas apa proses hukum lanjutan dari laporan-laporan tersebut oleh pihak penyidik Polri, sehingga terdapat ketidakpastian hukum dalam kasus tersebut.
Selama ini, proses hukum terkait subjek perkaranya, yaitu Gibran, putra Presiden Joko Widodo, terus berjalan tanpa hambatan apapun. Bersama dengan Capres Prabowo Subianto, Gibran mendapatkan nomor urut kontestan pilpres 02. Bahkan, Gibran semakin “berani” dalam penampilannya saat di hadapan publik dalam dua kali debat Cawapres. Sebelumnya, ia juga sempat dipanggil oleh Bawaslu karena dugaan pelanggaran terkait pembagian susu di Sarinah, serta diberi peringatan oleh KPU atas sikap “angkuh”nya saat menjadi penonton dalam debat capres.
Tuduhan serius lainnya yang dapat meningkatkan keraguan publik adalah adanya dugaan kecurangan data yang dilakukan oleh KPU atau kemungkinan adanya intervensi dari pihak-pihak yang terlibat dalam praktik kriminal dalam pemilu, yang sering disebut sebagai “mafia pemilu”. Tuduhan tersebut menyoroti kemungkinan keterlibatan unsur-unsur dalam KPU yang tidak bertanggung jawab, yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Jumlah suara bodong yang disebutkan mencapai 54 juta orang, namun KPU membantah angka tersebut dengan menyatakan bahwa hanya ada sekitar 1,2 juta suara palsu.
Selain itu, terdapat kecurangan lain yang terjadi pada bulan Desember 2023 di Taipei, Taiwan, di mana Warga Negara Indonesia (WNI) telah melakukan pencoblosan untuk pemilu. Tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 yang menetapkan waktu pemilu pada tanggal 14 Februari 2024 melalui Keputusan PKPU. Secara hukum, tidak ada ketentuan yang membenarkan pelaksanaan pemilu yang diadakan sebelum waktu yang telah ditetapkan, kecuali dalam kondisi tertentu seperti penundaan karena bencana alam yang disebut sebagai force majeure. Oleh karena itu, pelanggaran pemilu yang terjadi di Taipei dapat dipastikan sebagai tindakan kejahatan pemilu menurut sistem hukum yang berlaku.
Selain itu, ada tuduhan bahwa KPU telah membiarkan Jokowi melakukan kegiatan yang setara dengan kampanye hitam atau black campaign dengan memberikan dukungan kepada pasangan calon nomor urut 02 dan partai PSI. Hal ini karena KPU tidak pernah mengumumkan bahwa Jokowi selaku presiden sudah memenuhi persyaratan izin dari KPU.
Di samping aspek hukumnya, kegiatan kampanye yang dilakukan oleh Jokowi juga terkait erat dengan larangan penggunaan fasilitas negara, seperti istana, gedung pemerintah, dan kendaraan milik negara, termasuk pesawat kepresidenan.
Namun, perlu dicatat bahwa dalam konteks pelanggaran yang telah disebutkan, dalam beberapa hari mendatang, gambar Gibran akan muncul bersama dengan nomor urutnya dalam kontes pemilu presiden pada 14 Februari 2024 melalui Tempat Pemungutan Suara (TPS) di dalam dan di luar negeri.
Semua indikasi kecurangan yang ada, terutama dalam konteks pemilihan presiden Republik Indonesia 2024, secara yuridis sepenuhnya terkait dengan pasangan calon nomor urut 02. Oleh karena itu, Jokowi, Gibran, Paman Usman, dan pendukungnya di PSI secara mutlak dianggap sebagai pendukung dan pengusung pasangan calon presiden nomor urut 02. Konsekuensinya, jika terungkap adanya kecurangan setelah pemilu, tanggung jawab hukumnya akan jatuh kepada pasangan calon nomor urut 02 dan segala hasil perolehannya, serta keterlibatan pasangan calon presiden nomor urut 02 dalam penghitungan suara oleh KPU.
Dengan adanya sejumlah pelanggaran dan kecurangan sebelumnya, seperti revisi batas usia 40 tahun dalam UU Pemilu oleh Paman Usman, pemecatan Anwar Usman karena 1,2 juta suara bodong, serta berbagai putusan MKMK dan kecurangan dalam coblosan di Taipei, serta perilaku Gibran yang mengecewakan terkait pendidikannya, dari gelar S.2 turun menjadi setara SMA atau diploma satu, muncul dugaan terkait keaslian ijazahnya yang mirip dengan orang tuanya, Jokowi, yang juga dicurigai memiliki ijazah palsu.
Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa Anies, atas desakan para pemilihnya, akan memimpin gerakan protes massal dari Sabang hingga Merauke, menolak kemenangan pasangan nomor urut 02. Terutama umat Muslim yang fanatik dan merasa bahwa ulama dan aktivis mereka telah dizalimi oleh penguasa selama hampir satu dekade, baik dalam bentuk intimidasi, persekusi, maupun kriminalisasi, yang seringkali berujung pada penahanan. Dengan demikian, para pengamat memprediksi bahwa akan terjadi gejolak penolakan dan bahkan perlawanan militan atau bahkan radikal secara keras dan teguh.
Dengan adanya banyak kecurangan yang ditemukan dalam proses pemilu pilpres maupun pileg, dianalisis dari segi yuridis formal bahwa jika kemenangan pasangan nomor urut 02 didasari oleh kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), maka hal tersebut menjadi perhatian serius. Fakta menunjukkan bahwa kecurangan sebelumnya melibatkan berbagai pihak, mulai dari KPU sebagai penyelenggara pemilu yang seharusnya bertanggung jawab, unsur eksekutif seperti Presiden Jokowi dan Gibran selaku Walikota Surakarta, serta pihak yudikatif seperti Anwar Usman dan hakim-hakim lainnya, serta anggota legislatif yang tidak melakukan tindakan sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang dimiliki sesuai konstitusi.
Namun, ironisnya, eksistensi kecurangan yang terus terjadi tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi terus meningkat pada puncaknya saat pemungutan suara pemilu pilpres dan pileg, bahkan hingga pengumuman penghitungan suara oleh KPU. Tanpa adanya diskualifikasi, kecurangan tersebut justru mendapatkan legitimasi baik dari KPU maupun dikuatkan melalui putusan MK terhadap pelaku kecurangan.
Maka, kesimpulan sementara adalah bahwa kecurangan yang dilakukan dengan TSM, diikuti oleh perilaku amoral penguasa, dapat menjadi pangkal bagi umat Muslim dalam menegakkan amar makruf nahi munkar. Kecurangan dan disfungsi legislatif yang terjadi mungkin akan dianggap sebagai ladang atau “ajang jihad” pasca pemilu.
Semoga KPU dapat menganalisis kemungkinan timbulnya upaya jihad ini, yang dalam pandangan umum, dapat dianggap sebagai momen menuju revolusi sosial. Oleh karena itu, diharapkan KPU serta aparat negara lainnya seperti Polri dan TNI, yang terlibat dalam pengamanan Pemilu Pilpres dan Pileg 2024, bertindak secara profesional dan proporsional, serta mengutamakan prinsip netralitas tanpa memihak.
Sebagai lembaga yang memegang amanah sistem hukum dan perundang-undangan RI, KPU memiliki kewajiban untuk mengantisipasi kemungkinan “chaotic”, termasuk dalam bentuk lahirnya gerakan jihad. Metode yang dapat dilakukan oleh KPU untuk mengantisipasi lahirnya gerakan yang berpotensi membawa implikasi revolusi sosial ini cukup sederhana, yaitu dengan melaksanakan pemilu yang jujur dan adil sesuai dengan kewajiban yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.