Oleh: EGGI SUDJANA dan DAMAI HARI LUBIS
Indikasi pengkhianatan muncul karena komisaris KPU RI, yang terikat pada tugas pokok dan fungsi mereka sebagai penyelenggara pemilu, baik untuk pemilihan presiden maupun calon legislatif tahun 2024. Mereka diharapkan untuk bertindak dengan jujur dan adil sesuai dengan sumpah yang mereka ambil, yang merujuk pada sistem hukum yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017.
Namun, jika dalam praktik penyelenggaraan pemilu ternyata terdapat indikasi bahwa KPU terlibat dalam konspirasi kecurangan untuk memenangkan salah satu kandidat dalam pilpres dan/atau para calon legislatif dari partai tertentu dengan diduga melibatkan “tangan hantu” dari perusahaan server asing (RRC) terkait penggunaan sistem data komputerisasi dan penghitungan suara yang tidak jujur, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap sistem konstitusi Negara Republik Indonesia dan juga kejahatan terhadap bangsa serta negara RI.
Oleh karena itu, para komisioner KPU secara kuat terindikasi sebagai pengkhianat terhadap Bangsa dan Negara RI. Dengan demikian, dapat diduga bahwa anggota komisioner KPU telah memenuhi unsur-unsur delik makar sesuai dengan rumusan dalam asas-asas hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999.
Selayaknya, KPU tidak boleh luput dari kecaman dan hujatan rakyat karena tindakan mereka, dan harus diproses sesuai dengan ketentuan hukum positif (ius constitutum) yang harus ditegakkan. Tindakan KPU bukan sekadar pelanggaran terhadap aspirasi hukum dalam kategori “ius constituendum” atau hukum ideal yang diharapkan terlaksana.
Untuk memastikan tegaknya kepastian hukum (rechtmatigheit), jika jenis kejahatan seperti makar menjadi marak dan menjadi sorotan publik, dan kejahatannya di luar biasa, jika ditemukan bahwa kejahatan pelanggaran pemilu ini nyata dan melibatkan Anggota Komisioner KPU serta terdapat kesepakatan konspiratif terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap negara (government crime). Jika tidak ada proses hukum yang sesuai dengan norma, maka secara ideal, rakyat memiliki hak untuk melakukan aksi turun ke jalan sebagai upaya non-litigasi dalam bentuk “peran serta masyarakat” yang diperintahkan oleh banyak sistem hukum dan peraturan yang berlaku (ius constitutum).
Oleh karena itu, ketika hukum publik menemukan adanya tindak pidana atau pelanggaran hukum yang sangat merugikan hak-hak hidup demokratis seluruh bangsa ini dalam pemilihan presiden dan legislatif 2024, maka hal tersebut dilakukan dengan niat yang tulus demi tegaknya kebenaran dan keadilan.
Misi pelaksanaan hak hukum dan HAM rakyat yang dimaksud merupakan implementasi nyata dari peran serta masyarakat yang disampaikan melalui aksi bersatu dan serentak turun ke jalan, menuju Gedung Rumah Rakyat. Tujuan aksi ini adalah untuk menyampaikan suara representatif rakyat kepada para wakilnya, atau bahkan langsung menghadap Presiden di Istana sebagai penguasa tertinggi sesuai konstitusi. Pola “turun rame-rame” ini adalah bentuk pelaksanaan hukum yang substansial, menegaskan bahwa rakyat berdaulat terhadap kelangsungan hukum dan penegakannya di negara ini, sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menegaskan Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, bersama dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam melaksanakan niat baik ini, kerjasama dan persatuan umat adalah kunci, demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Pendekatan ini sejalan dengan ajaran Al Qur’an yang menekankan pentingnya persatuan dalam menegakkan hukum yang adil bagi seluruh makhluk Allah di bumi. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surah Hud Ayat 118 menyatakan:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَـعَلَ النَّا سَ اُمَّةً وَّا حِدَةً وَّلَا يَزَا لُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ
“Allah berfirman: ‘Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka tetap berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Dia menciptakan mereka. Dan perkataan Tuhanmu itu pasti terlaksana pada hari Kiamat, mereka tidak akan dapat menghindar dari siksaan-Nya.'”
(QS. Hud 11: Ayat 118) .
اِلَّا مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ ۗ وَلِذٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَاَ مْلَـئَنَّ جَهَـنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَا لنَّا سِ اَجْمَعِيْنَ
” Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.
( QS. Hud 11: Ayat 119 ) . Pesan dari Allah memang sangat jelas, bahwa umat Islam seharusnya bersatu namun seringkali terpecah belah karena perbedaan pendapat yang berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan kekompakan terganggu, oleh karena itu, kita harus mencari rahmat Allah sebagaimana diungkapkan dalam pembukaan UUD 45 bagian ketiga, di mana kemerdekaan Indonesia dinyatakan sebagai anugerah dari rahmat Allah. Oleh karena itu, saat ini kita harus memastikan bahwa kita merdeka dari penjajahan oleh orang-orang Indonesia yang menjadi alat asing, seperti AS, China, Yahudi, Nasrani, dan Komunis, yang disebut sebagai orang-orang kafir yang zalim dan fasiq.
Dengan kejelasan bahwa KPU telah menjadi pengkhianat bangsa, maka semua komisionernya harus ditangkap dan diganti. Pengisian posisi baru dalam KPU harus dilakukan dengan memilih anggota dari partai politik peserta pemilu yang telah lolos ambang batasnya. Selanjutnya, pemilihan umum presiden dan legislatif harus diulang karena adanya kecurangan yang terjadi, termasuk dalam pemilihan legislatif. Jika ada opsi lain yang lebih baik dan solutif untuk kebahagiaan bangsa Indonesia, itu juga patut dipertimbangkan.