Oleh. M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum
Dari konsep ini dapat ditemukan fungsi kementrian agama tidak sekedar mengatur hal-hal bersifat ibadah, namun membantu kekurangan hukum pidana dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dimasyarakat, sehingga tujuan hukum berdasarkan sosiologis yaitu menciptakan harmonisasi masyarakat terjalin.
Indonesia adalah negara penganut teori klasik liberal, bukan neo ataupun sosialis liberalis. Klasik liberal dikhususkan bagi negara yang masyarakatnya terdiri dari komunitas-komunitas, komunitas menjadi bangsa-bangsa dan bangsa menjadi negara kesatuan.
Klasik liberal diharuskan untuk menghidupkan dan saling menjaga nilai-nilai budaya, adat istiadat dan agama. Pemeluk adat budaya yang kuat, semaksimal mungkin menjauhkan diri dari kebiaasan yang bertentangan dengan ajaran agama apabila ia memilih untuk memeluk satu agama sebagai keyakinannya.
Dua hal tersebut memiliki nilai yang sama (theori facies) dan terlarang untuk dibenturkan. Hanya dengan saling menjaga, menghormati dan menghidupkan nilai-nilai tersebut maka persatuan dapat terajut dengan sendiri yang disebut dengan Bhineka Tunggal Ika “Unity in Diversity”.
Bhineka Tunggal Ika “Unity in Diversity” menunjukkan bahwa warga negara adalah masyarakat asli secara turun temurun yang dipisahkan oleh pulau-pulau.
Konsep tersebut pembeda dengan neo liberal, dimana masyarakat yang hidup didalamnya juga memiliki latar belakang kebudayaan, adat istiadat dan identikal dengan mayoritas masyarakat pendatang. Namun, masyarakat Neo liberal melupakan latar belakang tersebut.
Neo Liberal hanya memiliki kebutuhan untuk dilindungi oleh negara saat ini dan kedepan, tidak terikat dengan latar belakang adat budaya dan agama. Sehingga meliki sifat individualistik, dengan konsep persatuan dalam perbedaan “Diversity within Unity”.
Selain itu penganut klasik liberal, dicirikan dengan dasar negara secara sosiologis sebagai simbol pemersatu bagi masyarakat, landasan pemikiran dan Recht Ideologie bagi pembuat aturan hukum. Sedangkan konsep demokrasinya ialah musyawarah dan mufakat “deliberative democracy” (Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi, 1964, baca juga Emitai Etzionei: Citizenship in a communitarian perspective, 2011)
Konsep demokrasi musyawarah mufakat telah dikenal sejak zaman Romawi. Asas musyawarah dan mufakat dalam bahasa Latin ialah “Consilo et deliberatione omnia facienda sunt” semua harus dimusyawarahkan dan dimufakatkan(Romero Gill, 1819)
Namun ketika konsep ini dibawa kedalam perdebatan BPUPKI dan PPKI terdapat penambahan kata “hikmat dan bijaksana”. Kata “hikmat” menunjukkan pandangan pemikir islam, sedangkan “bijaksana” nasionalis dan universal (Risalah Sidang BPUPKI & PPKI, 1995)
Hal ini terlihat beberapa lagu kebangsaan Indonesia yang memiliki kesamaan dengan lagu kemerdekaan Prancis yang juga sangat familiar dengan bangsa eropa lainnya kala itu, sebagai motivasi dalam mencapai kemerdekaannya (Girbertus van Sandwijk,1865)
Penganut klasik liberal harus mengesampingkan hal-hal baru yang diluar dari yang harus dihidupkan terlebih yang bertentangan dengan semnagat dan konsep tersebut (Emitai Etzioni: The Spirit of Community, 2013). Hal ini berkaitan dengan nikah sejenis, nikah beda agama dan lainnya. Selain bertentangan dengan konsep klasik liberal itu sendiri, bertentangan dengan konsep hukum yang mengatur.
Dari konsep ini dapat ditemukan fungsi kementrian agama tidak sekedar mengatur hal-hal bersifat ibadah, namun membantu kekurangan hukum pidana dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dimasyarakat, sehingga tujuan hukum berdasarkan sosiologis yaitu menciptakan harmonisasi masyarakat terjalin.
Contoh. Hukum pidana Indonesia tidak mengatur tentang larangan tentang larangan hubungan sesama jenis, namun secara empiris masyarakat dapat mengetahui dan apabila terjadi penolakan dari masyarakat maka fungsi kementrian agama yang diwakilkan secara langsung dan tidak langsung akan menyelesaikan dengan musyawarah.
Contoh lain. Kumpul kebo satu pasangan, dimana pengaturan dalam hukum pidana (pasal 284 KUHP) tidak menganggap hal ini suatu persoalan pidana zinah, namun bertolak belakang dengan konsep masyarakat, sehingga hal ini dapat merusak tujuan hukum berdasarkan sosiologis, selaian dari tidak dapat dipidana.
Maka, fungsi kementrian agama hadir dalam penyelesaian. (perlu diketahui bahwa Pengaturan tentang zinah dalam pasal 284 KUHP memiliki dogma, doktrin dan filsafat Nasrani merujuk ke Mathius 19:6 berbunyi: “…………….. apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh dipisahkan oleh manusia. (Williem Anthony Hellegers, 1882, baca juga tulisan sebelumnya tentang kelemahan dalam pembutkian) https://fusilatnews.com/pengadilan-sesat-bambang-tri-dan-gusnur-dituntut-berdasarkan-pancasila-dan-uud-nri-1945-harus-dibebaskan/
Sehingga perspektive pidana Indonesia tentang perzinahaan hanya bagi yang telah menikah dan melakukan hubungan dengan yang lain.
Apa Arti Warga Negara?
“Warga negara” artinya adalah kata yang menunjukkan kewajiban pemerintah untuk melibatkan warganya (aktif) dalam melahirkan kebijakan-kebijakan secara maksimal, tidak hanya melahirkan namun turut serta dalam pembahasan, dan keterlibatan dalam menjalankan roda kebijakan tersebut, termasuk dalam pembahasan lahirnya suatu produk hukum.
Berbeda dengan “anggota negara”, angota negara menunjukkan kata pasif. Anggota negara tidak adanya kewajiban keterlibatan secara maksimal. Pemerintah yang berkuasa mengatur secara sesukanya dalam menentukan apapun yang menurut kekuasaan baik untuk warganya (Immanuel Kant, 1797).
Tujuan dari keterlibatan secara maksimal adalah menciptakan rasa kepercayaan antara masyarakat dan pemerintahnya, menciptakan ketaatan hukum dimasyarakat, dan mempercepat kecerdasaan masyarakat.
Teori Sherry Arnstein, 1967 mengatakan ada delapan anak tangga keterlibatan masyarakat. PERTAMA, Manipulasi, adalah bentuk keterlibatan yang ilusi. Manipulasi ini terjadi ketika lembaga negara dan pejabat publik menyesatkan warga negara, sehingga warga negara percaya, alih-alih melibatkan warga secara sejati, distorsi partisipasi menjadi alat kekuasaan semata.
KEDUA, Terapi, adalah partisipasi semu yang dibuat oleh kekuasaan sehingga kekuasaan dapat mengatakan seolah-olah wargalah yang menjadi masalah dalam percepatan suatu pembangunan, padahal kekuasaanlah yang menciptakan masalah bagi warga negara, Arstein mengatakan ini adalah partisipasi yang menjijikkan.
KETIGA, Menginformasikan adalah kekuasaan yang bersifat menginformasikan mengenai hak masyarakat, memberikan informasi yang dangkal pada warga negara, tangga ini hanya bersifat sepihak, penguasa hanya sekedar mencatat namun tak ada unpan balik. Situasi ini dimana warga negara terintimidasi dengan kesia-sian semata.
KEEMPAT, Konsultasi, adalah tangga dimana penguasa menampung pendapat masyarakat, seperti memberi informasi kepada warga negara, tangga ini juga dapat menjadi langkah sah menuju partisipasi penuh. Namun ketika prosesnya tidak dipadukan dengan cara partisipasi lainnya dan tahapan ini penuh dengan kepalsuan, metode yang paling sering digunakan adalah survey sikap masyarakat.
Tangga partisipasi diatas hanyalah manipulasi kekuasaan dimana warga negara dijadikan sebagai “anggota negara” dan penguasa selalu mengatakan bahwa : …… inilah yang terbaik untuk masyarakat, namun tanpa keterlibatan maksimal, hanya manipulasi semata.
Untuk tangga berikutnya yaitu ke lima, enam, tujuh dan delapan dapat dilihat pada Ladder of Citizen Participation Organizing Engagement https://organizingengagement.org › …
Masyarakat Aceh paska Tsunami mengalami goncangan jiwa yang besar; rasa trauma, takut, sedih atas duka kehilangan keluarga dan harta benda masih menyelimuti.
Namun keterlibatan masyarakat dalam pembahasan program, pengerjaan program dengan pemerintah, dibantu oleh pantauan asing menyebabkan warga aceh cepat sembuh dari trauma paska Trsunami, dan inilah contoh arti warga negara yang dimaksud (Mikey Lauriad & Carissa Schively Slotterback, 2020).
10 tahun terakhir, warga negara telah berubah menjadi anggota negara, dalam pembangunan IKN, lahirnya produk-produk hukum sehingga menyebabkan banyaknya penolakan dari warga negara.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah pemahaman masyarakat secara umum, hal ini terlihat sederhana, akan tetapi memiliki makna yang berarti dalam menumbuhkan kesadaran bernegara (civic), baik secara pribadi maupun pemerintahan.
Tulisan ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Ass. Emitai Etzioni beserta lima belas professorship, meniliti Benua Amerika, Eropa dan Asia, selain dari itu penelitian yang dilakukan berdasarkan pendekatan normatif “library research” yang penulis lakukan sendiri.