Oleh Prihandoyo Kuswanto-Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila .
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyoroti kondisi Mahkamahan Konstitusi saat ini. Megawati juga bicara soal kecurangan pemilu yang mulai tampak lagi.
Megawati awalnya memuji putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) soal pelanggaran etik hakim MK terkait dengan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres sebagai cahaya dalam kegelapan.
Dia kemudian bercerita tentang pembentukan MK sebagai salah satu hasil dari reformasi.
Megawati menyinggung soal apa yang terjadi di MK akhir-akhir ini. Dia mengatakan apa yang terjadi di MK sebagai manipulasi hukum.
Apakah betul di MK telah terjadi manipulasi hukum ? Tentu saja pernyataan seperti ini tidak layak di ucapkan oleh seorang ketua partai politik yang sedang terlibat sengketa hasil Pilpres.
Mengapa Megawati tidak ngomong di sidang MK ,kalau memang terjadi manipulasi hukum di Makamah Konstitusi wajib dilakukan pembuktian .Maka agar semua bukan menjadi tuduhan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan maka sebaik nya Megawati PDIP melakukan gugatan kalau memang terjadi manipulasi hukum di Makamah Konstitusi.
Maka jika Megawati mendalilkan telah terjadi manipulasi hukum maka Megawati harus membuktikan tuduhan tersebut .
Justru bukan hakim Makamah Konstitusi yang harus menjadi negarawan tetapi Megawati lah yang harus menjadi Negarawan .
Kekisruhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini adalah akibat dari diganti nya UUD 1945 dengan UUD 2002 dan Pancasila telah diganti dengan individualisme ,Liberalis me ,Kapitalisme.
Negara tidak lagi didasarkan pada Panca Sila dan UUD 1945 yang asli. Sebab aliran pemikiran ke Indonesia an telah diamandemen, dari sistem negara berdasarkan Panca Sila menjadi sistem negara Presidenseil yang basisnya individualisme , liberalisme, kapitalisme.
Apakah Megawati tidak ingat terhadap ucapan
Bung Karno dalam pidato di BPUPKI Rapat besar pada tanggal 15-7-2605 dibuka Jam 10.20 mengatakan:
“Maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong, faham keadilan sosial, enyakanlah tiap-tiap pikiran,tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya.”
Mari kita buka sejarah bagaimana orang tua kita, para pendiri negeri ini membentuk UUD 1945, membuat sistem bernegara di sidang BPUPKI.
“Toean-toean dan njonja-njonja jang terhormat. Kita telah menentoekan di dalam sidang jang pertama, bahwa kita menjetoedjoei kata keadilan sosial dalam preambule.
Keadilan sosial inilah protes kita jang maha hebat kepada dasar individualisme.
Tidak dalam sidang jang pertama saja telah menjitir perkataan Jaures, jang menggambarkan salahnja liberalisme di zaman itoe, kesalahan demokrasi jang berdasarkan kepada liberalisme itoe.
Tidakkah saja telah menjitir perkataan Jaures jang menjatakan, bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen mendjadi rapat radja-radja, di dalam liberalisme tiap-tiap wakil jang doedoek sebagai anggota di dalam parlemen berkoeasa seperti radja.
Kaoem boeroeh jang mendjadi wakil dalam parlemen poen berkoeasa sebagai radja, pada sa’at itoe poela dia adalah boedak belian daripada si madjikan, jang bisa melemparkan dia dari pekerdjaan, sehingga ia mendjadi orang miskin jang tidak poenja pekerdjaan.
Inilah konflik dalam kalboe liberalisme jang telah mendjelma dalam parlementaire demokrasinja bangsa2 Eropah dan Amerika.
Toean-toean jang terhormat. Kita menghendaki keadilan sosial.
Boeat apa grondwet menoeliskan, bahwa manoesianja boekan sadja mempoenjai hak kemerdekaan soeara, kemerdekaan hak memberi soeara, mengadakan persidangan dan berapat, djikalau misalnja tidak ada sociale rechtvaardigheid jang demikian itoe?
Boeat apa kita membikin grondwet, apa goenanja grondwet itoe kalau ia ta’dapat mengisi “droits de l’homme et du citoyen” itoe tidak bisa menghilangkan kelaparannja orang jang miskin jang hendak mati kelaparan.
Maka oleh karena itoe, djikalau kita betoel-betoel hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeloeargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enjah kanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja.
Tanpa di sadari Megawati ikut mengamandemen UUD 1945 Dan menandatangani nya amandemen yang arti nya menyetujui UUD 1945 diganti dengan UUD 2002.
Akibat dari persetujuan Amandemen tersebut maka Negara Republik Indonesia yang di Proklamasikan 17 Agustud 1945 telah bubar .Apakah Megawati memahami dengan bubar nya Negara yang di proklamasikan 17Agustus 1945 itu berarti juga menghapus Proklamator Soekarno Hatta.?
Melalui amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang dilakukan antara 1999 sampai 2002, MPR telah merubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem Presidensial. Apakah sistem pemerintahan tersebut yang disusun oleh BPUPKI yang kemudian disahkan oleh PPKI dalam UUD 1945 ? Bahkan jika kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi 1945 dianggap mundur ? Bukan nya mengamandemen UUD 1945 dari sistem MPR menjadi sistem Presidensial merupakan tindakan anarkis ? bukan nya menghilangkan Penjelasan UUD 1945 merupakan tindakan memutus tali sejarah bangsanya ?
Amandemen UUD1945 itulah manipulasi hukum yang sesungguh nya dan itu dilakukan di jaman Presiden Megawati .Negara yang harus nya berdasar Pancasila dimanupulasi menjadi negara berdasarkan Individualisme,Liberalisme ,Kapitalisme.
Seperti yang diajarkan oleh Spihnoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik. Menurut pandangan teori ini, negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Negara adalah suatu masyarakat integral yang segala golongan, bagian dan anggotanya, satu dengan lainnya merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang terpenting dalam kehidupan benegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.
Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa.
Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya.
Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indonesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik (sic, maksud Prof. Soepomo adalah negara yang integral bukan integralistik!),, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golonganya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998; 55).
Dalam negara yang integral tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya.
Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.
Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.
Bung Hatta, berbeda dengan Bung Karno dan Prof. Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan, Indonesia Intinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong
Karena itu dalam pemikiran Bung Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme ala Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama. Jadi, kolektivisme oleh Bung Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).
Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura. Suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest. Suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen
Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei – 1 Juli dan dari 10-17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKT) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem Presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem Presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem MPR adalah menganut faham kekeluargaan, faham integralistik, maka MPR adalah lembaga yang beranggotakan seluruh elemen keluarga bangsa Indonesia, hal ini disebabkan bangsa Indonesia terdiri dari ribuan suku, bermacam-macam adat istiadat, bermacam-macam Agama dan kepercayaan, bermacam-macam golongan.
Maka keanggotaan MPR adalah utusan-utusan golongan, utusan-utusan elemen masyarakat seluruh Indonesia. Tugasnya adalah membuat keputusan Politik untuk kehidupan bersama secara gotong royong. Politik rakyat itu adalah Politik pembangunan yang terurai didalam GBHN. Jadi dengan sistem MPR maka negara ini benar-benar dijalankan sesuai kehendak rakyat, sesuai dengan politik rakyat dan sudah tentu dengan kedaulatan rakyat dan kemerdekaan kedaulatan rakyat
Setelah terbentuknya GBHN maka dipilihlah Presiden dan diberi amanah untuk menjalankan Politik rakyat, menjalankan kehendak rakyat yaitu GBHN. Maka jika Presiden melenceng dari GBHN Presiden bisa diturunkan. Diakhir jabatannya Presiden harus mempertangungjawabkan apa yang sudah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan.
Presiden tidak boleh menjalankan Politiknya sendiri, atau menjalankan politik golongannya sendiri .
Setelah Amandemen UUD 1945 keadaan menjadi kacau, sebab Panca Sila yang seharusnya menjadi dasar negara diabaikan. Mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih disamakan dengan Gotong royong, disamakan dengan Persatuan Indonesia, disamakan dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan. Usaha mencangkokan Panca Sila dengan Demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap Panca Sila.
Perubahan kedaulatan di tangan MPR diganti dengan Menurut Undang-Undang Dasar menjadi sangat kacau. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
UU dibuat oleh Presiden dan DPR , yang merupakan presentasi dari kedaulatan rakyat. Kita bisa bayangkan bahwa UU itu bisa dibatalkan oleh MK yang keanggotaan MK dipilih dari hasil Fit And Proper Test. Pertanyaan nya dimana kedaulatan rakyat itu ? Berdaulat dimana Rakyat, Presiden, DPR dengan MK ?
Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tahu sejarahnya, Undang-Undang Dasar itu adalah Undang- Undang dasar seperti yang di ucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI;
”Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa. Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.
Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kta perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe.
Sejak amandemen UUD negara ini sudah bukan negara Panca Sila tetapi negara dipaksa untuk menjadi Liberal. Miris rasanya bukan hanya soal kehidupan kebangsaan kita yang harus kita hancurkan tetapi kehidupan moral anak cucu kita. Unggah ungguh sopan santun dan menghormati orang tua, adat istiadat, kesetiakawanan sosial, kekerabatan kita buang sementara tanpa sadar kita dikotak-kotak dengan segala warna kotak hijau, kuning, merah, biru, putih, yang semua berhadap-hadapan, yang tak lagi Guyub rukun, sebab baju yang mereka pakai adalah baju kepalsuan yang namanya Demokrasi Liberal.
Melalui amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang dilakukan antara 1999 sampai 2002, MPR telah merubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem Presidensial. Apakah sistem pemerintahan tersebut yang disusun oleh BPUPKI yang kemudian disahkan oleh PPKI dalam UUD 1945 ? Bahkan jika kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi 1945 dianggap mundur ? Bukan nya mengamandemen UUD 1945 dari sistem MPR menjadi sistem Presidensial merupakan tindakan anarkis ? bukan nya menghilangkan Penjelasan UUD 1945 merupakan tindakan memutus tali sejarah bangsanya ?
Sadarkah Megawati terhadap perbuatan mengganti UUD1945 dengan UUD 2002.dan mengganti dasar negara Pancasila ? Saya heran setiap pidato nya selalu mengucapkan salam Pancasila padahal Pancasila sudah diamandemen.