Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Moh Mahfud MD (MMD) dikabarkan telah mengajukan dan menandatangani permohonan pengunduran diri dari jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) dalam kabinet Jokowi. Pengunduran diri ini dilaporkan terjadi tiga hari yang lalu, pada tanggal 1 Februari 2024.
Mundurnya MMD. meninggalkan kenangan pahit atas hasil kinerja dirinya selama bertugas. Citra MMD terlihat buruk di mata sebagian masyarakat, terutama bagi ormas Muslim yang cukup besar di Indonesia, seperti FPI (Front Pembela Islam). Juga, kebijakannya dinilai mengecewakan oleh kelompok yang peduli terhadap penegakan hukum dan keadilan.
Penting untuk dicatat bahwa MMD juga dianggap mengecewakan kelompok HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Harapan HTI untuk kembali menjalani kegiatan amar ma’ruf nahi munkar setelah dibubarkan dan dilarang oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 19 Juli 2017, tidak terwujud dengan kebijakan yang diambil oleh MMD.
Sebagai seorang profesor Muslim dan ahli hukum tata negara, Moh Mahfud MD. tidak hanya tidak merekomendasikan pengesahan eksistensi kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tetapi juga terlibat dalam pembubaran FPI (Front Pembela Islam) pada 30 Desember 2020. Meskipun HTI sudah dibubarkan lebih awal, pada 17 Agustus 2017, tindakan MMD. menuai kritik karena dianggap tidak mendukung kebebasan berserikat dan berkumpul sesuai dengan hukum nasional dan syariat.
Selain itu, MMD. juga mengecewakan banyak pihak dengan janjinya untuk membongkar kasus korupsi senilai 349 triliun di Kementerian Keuangan. Janji ini disampaikannya beberapa minggu sebelum pengunduran dirinya. Namun, dengan keputusannya untuk mundur, harapan untuk mengungkap pelaku korupsi tersebut menjadi berkurang, dan beberapa melihatnya sebagai omong kosong atau janji yang tidak terpenuhi.
Entah apa alasannya, tetapi eks-pecinta Jokowi yang sangat fanatik ini, setelah melepaskan jabatannya, mungkin akan memberikan argumen yang rumit jika ditanya mengapa tidak melanjutkan rencananya untuk mengungkap kasus kejahatan luar biasa di lingkungan Kementerian Keuangan. Moh Mahfud MD. mungkin akan menggunakan alasan-alasan yang sulit dipahami atau bahkan mungkin menggunakan pengetahuannya untuk mencari jalan keluar.
Mungkin MMD. akan berbicara ngalor-ngidul, menciptakan argumen yang rumit dan mungkin menggunakan pengetahuannya untuk mengecoh. Atau, apakah saat MMD. menyatakan akan membongkar pelaku kasus korupsi itu hanya sekadar mencari popularitas, karena dia sudah tahu bahwa dia akan menjadi calon wakil presiden dari Ganjar Pranowo pada tahun 2024?
MMD juga terlibat dalam kepemimpinannya di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) terkait terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2022. Keputusan Presiden ini membahas pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, yang dikenal sebagai Tim PPHAM.
Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden, Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (INPRES) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Tentu, ada tumpang tindih antara dua diskresi Presiden Joko Widodo terkait Keppres dan Inpres, khususnya saat MMD menjabat sebagai Menkopolhukam. Terdapat ketidaksesuaian dengan tatanan hirarkis hukum yang lebih tinggi, seperti TAP MPR RI Nomor 25 Tahun 1966. Dalam perspektif yuridis formil, Keppres tersebut mungkin melanggar tatanan hirarkis hukum yang lebih tinggi.
Materi Keppres juga menimbulkan ketidakjelasan terkait siapa yang menjadi korban dan siapa yang dianggap berkhianat dalam peristiwa pemberontakan G. 30 PKI 1965. Pertanyaan mengenai apakah yang terlibat adalah para jendral, ulama, tokoh masyarakat, atau anggota PKI, menjadi penting, dan Inpres a quo menyatakan keluarga korban mendapat ganti rugi atas faktor pelanggaran HAM oleh penguasa.
Peristiwa penghianatan PKI pada tahun 1965 memang menjadi bagian integral dari sejarah hukum Bangsa Indonesia. TAP MPR RI Nomor 25 Tahun 1966 adalah hasil dari peristiwa ini, dan menjadi dasar bagi lahirnya UU RI No. 27 Tahun 1999 tentang KUHP. Pasal 107 dalam UU tersebut melarang penyebaran faham atau ajaran komunisme dengan ancaman hukuman.
Pada tahun 2020, MMD membuat kebijakan kontroversial terkait penjemputan Imam Besar Habib Rizieq Shihab di Bandara, yang terjadi pada tengah pandemi COVID-19. Kebijakan tersebut memperbolehkan penjemputan yang melibatkan lebih dari 3 juta orang, meskipun pada saat itu ada potensi penyebaran virus yang sangat tinggi. Hal ini menciptakan kontroversi dan kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh MMD.
Komparasi antara penanganan kasus penjemputan Habib Rizieq Shihab dan pelanggaran protokol kesehatan dalam pernikahan putrinya pada November 2020 memang menunjukkan adanya ketidakproporsionalan dalam penanganan hukum. Meskipun perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran regulasi protokoler, penjatuhan hukuman penjara terhadap Habib Rizieq Shihab dalam konteks tersebut menjadi sorotan banyak pihak.
Sebagai pengamat hukum, penulis melihat adanya kebijakan yang cenderung tidak proporsional dan tidak adil dalam menangani kasus ini. Penggunaan hukuman penjara terhadap HRS, sedangkan pelanggaran protokol kesehatan lainnya hanya dihukum dengan denda atau sanksi terhadap tempat usaha, menimbulkan pertanyaan terkait konsistensi dan proporsionalitas dalam penegakan hukum.
Penting untuk dicermati dan dievaluasi apakah penanganan hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum positif yang berlaku. Hal ini juga menciptakan ruang bagi perdebatan mengenai kebijakan dan penerapan hukum di Indonesia.
Sungguh, MMD berkesan congkak dan ” luar biasa pandir ” saat berkuasa.
Dalil MMD terkait penjemputan tanggal 10 November 2020 dan pernikahan putrinya pada 14 November 2020 memang dapat menimbulkan keraguan dan kontroversi. Diskresi pemerintah dalam kasus penjemputan tersebut tampaknya menjadi dasar argumennya, sementara pada pernikahan putrinya, dia menyatakan bahwa tidak ada diskresi yang diberikan.
Pemilihan untuk memberikan diskresi dalam satu kasus dan tidak dalam kasus lain memang dapat menjadi objek kritik karena dapat dianggap tidak konsisten. Argumentasi bahwa penjemputan memiliki kebijakan khusus sementara pernikahan putrinya tidak mendapatkan perlakuan yang serupa dapat menimbulkan pertanyaan etika dan keadilan.
Selain itu, ketidakbersuaraan MMD terkait wacana Presiden 3 periode tanpa pemilu juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi publik. Konsistensi dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip konstitusi dan demokrasi menjadi penting dalam konteks pemerintahan yang baik.
Semua ini menunjukkan bahwa dalam penanganan kasus hukum dan kebijakan, transparansi, keadilan, dan konsistensi sangat penting untuk menjaga integritas sistem hukum dan pemerintahan.
Tindakan dan pernyataan kontroversial dari beberapa tokoh dan pejabat dapat memicu kegaduhan dan perpecahan di masyarakat. Menyebarkan informasi yang ternyata tidak benar dapat menciptakan ketegangan dan memicu aksi kekerasan dari beberapa individu atau kelompok. Situasi ini mencerminkan pentingnya tanggung jawab dan integritas dalam berbicara, terutama bagi mereka yang menduduki posisi pemerintahan atau memiliki pengaruh di masyarakat.
Ketidakcakapan dan ketidakbijaan dalam menjalankan tugas dan memberikan pernyataan yang terbukti tidak akurat dapat merugikan masyarakat. Kepercayaan publik kepada pemimpin dan pejabat pemerintahan menjadi krusial dalam menjaga stabilitas dan harmoni dalam suatu negara.
Sementara itu, jika terdapat pelanggaran hukum atau tindakan yang dianggap melanggar konstitusi, maka proses hukum dan penegakan hukum yang adil dan transparan harus dijalankan. Tidak adanya respons atau langkah tegas dari pejabat terkait dapat menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan dari masyarakat.
Sebagai warga negara, partisipasi dalam mendukung dan menjalankan mekanisme demokrasi, termasuk hak untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap tindakan pemerintah yang dianggap melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi, merupakan hak dan kewajiban yang mesti dijalankan secara bertanggung jawab.