Kerikil di Tengah Lautan Muslim
Dunia saat ini dihuni oleh sekitar delapan miliar jiwa, dan lebih dari seperempat dari mereka—dua miliar orang—mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim. Mereka tersebar di berbagai belahan dunia, dari Afrika Utara hingga Timur Tengah, dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar. Islam, dengan jumlah yang begitu besar, seharusnya menjadi kekuatan utama dalam kehidupan manusia. Namun, dalam perspektif agama, angka besar ini bukanlah jaminan keselamatan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Hadis ini membuka sebuah kesadaran pahit: mayoritas umat Islam, meskipun mengaku beriman, justru akan tersesat. Hanya satu golongan yang akan selamat.
Angka yang Mencubit Nurani
Jika kita menghitung secara matematis, dengan adanya 73 golongan, maka hanya sekitar 1,37 persen dari umat Islam yang dijanjikan keselamatan. Namun, jika kita menurunkan angka itu lebih jauh lagi, dengan menyoroti 0,35 persen yang tersisa sebagai golongan yang benar-benar selamat, hasilnya semakin menyentak. Dari dua miliar Muslim di dunia, angka 0,35 persen berarti hanya sekitar tujuh juta orang yang akan berada di jalan yang lurus menuju surga.
Ini adalah angka yang mengusik: tujuh juta jiwa—jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan populasi satu kota besar atau stadion sepak bola yang penuh sesak. Tujuh juta dari dua miliar.
Jika dibagi, itu setara dengan satu orang selamat dari setiap 285 Muslim. Betapa kecilnya peluang itu, betapa sempit jalan menuju keselamatan.
Islam: Antara Identitas dan Jalan Sunyi
Dalam menghadapi kenyataan ini, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan mendalam: apa artinya menjadi seorang Muslim di zaman ini? Apakah cukup hanya dengan mengucap dua kalimat syahadat? Ataukah hanya dengan melakukan ibadah ritual seperti shalat lima waktu, zakat, dan puasa? Apakah itu cukup untuk menjamin tempat di antara tujuh juta yang selamat?
Imam Ibn Taimiyah, dalam kitabnya Al-Furqan, menjelaskan bahwa seorang Muslim yang benar adalah mereka yang hidup sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Bukan hanya mengikuti agama sebagai formalitas, tetapi mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam perbuatan, perkataan, maupun sikap. “Islam adalah agama yang harus diamalkan dengan segala aspek kehidupan, bukan sekadar identitas di atas kertas,” kata Ibn Taimiyah. Dalam maknanya yang lebih dalam, menjadi Muslim bukan hanya soal label agama, melainkan perjalanan yang terus-menerus menuntut kesungguhan dalam beramal.
Tiket yang Direbut, Bukan Diberi
Tujuh juta orang yang selamat itu bukanlah sekadar tiket yang diberikan begitu saja. Ia adalah hadiah bagi mereka yang menjalani kehidupan dengan penuh pengorbanan. Ulama besar Imam Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumuddin, menekankan bahwa perjalanan menuju keselamatan adalah sebuah jalan yang penuh ujian dan tantangan. “Jalan menuju Allah penuh dengan kesulitan, dan tidak ada jalan yang lebih mudah menuju surga selain melalui kesulitan-kesulitan itu.”
Kesulitan itu bukan hanya soal pertempuran fisik, tetapi juga pertempuran batin. Perjuangan menahan diri dari godaan duniawi, menjaga kesucian hati, dan terus-menerus berpijak pada ajaran Nabi meskipun dunia seringkali menggoda dengan kebohongan dan keburukan. Imam Asy-Syafi’i, seorang ulama besar yang dikenal dengan kebijaksanaannya, berkata: “Agama bukanlah sekadar penampilan luar, tetapi ia adalah niat yang murni dan tindakan yang tulus.”
Tidak ada jalan yang mudah untuk masuk ke dalam kelompok yang selamat. Ia menuntut keberanian untuk memilih yang benar meskipun itu membuat kita terasing. Itulah yang sering kali disampaikan Nabi Muhammad SAW, bahwa Islam akan kembali menjadi asing, dan mereka yang berpegang teguh pada ajaran yang benar akan dianggap asing. “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Perjalanan yang Menyendiri
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, di mana kebenaran sering kali diputarbalikkan, menjadi Muslim yang sejati adalah sebuah tindakan yang menuntut keberanian. Di dunia yang penuh dengan fitnah dan kebohongan, keteguhan iman bukanlah hal yang mudah untuk dipertahankan. Di sini, pengaruh negatif budaya modern seringkali mengarah pada penyimpangan dari jalan yang benar. Tapi, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal mengingatkan, “Seseorang tidak akan menemukan jalan ke surga tanpa menempuh jalan yang penuh tantangan dan ujian.”
Di sinilah pentingnya mengingat kembali ajaran para ulama, bahwa jalan menuju surga itu tidak hanya penuh dengan pahala yang bisa diperoleh dari ibadah ritual, tetapi juga dari cara kita memandang dunia ini. Keberhasilan bukanlah tentang menjadi terkenal atau dihormati, melainkan tentang mengorbankan ego demi Allah dan berjalan di jalan yang penuh dengan ujian.
Kembali ke Pertanyaan: Siapa yang Terselamatkan?
Pada akhirnya, pertanyaan itu kembali kepada kita semua: Apakah kita termasuk di antara tujuh juta orang yang dijanjikan keselamatan? Ataukah kita sekadar menjadi angka dalam statistik yang lebih besar—sebagaimana mayoritas umat Islam lainnya yang tidak mengetahui jalan yang lurus?
Dunia mungkin menganggap kita baik hanya karena kita mengikuti tradisi, tetapi surga tidak melihat pada tradisi, melainkan pada ketulusan iman dan keikhlasan dalam beramal.
Tujuh juta tiket surga itu bukan untuk mereka yang hanya sekadar mengaku Muslim, melainkan untuk mereka yang dengan sungguh-sungguh memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW, dengan istiqamah dan keberanian melawan arus dunia yang menggoda. Inilah perjalanan yang harus kita semua tempuh, perjalanan yang tak akan pernah mudah, tetapi menjadi satu-satunya jalan menuju keselamatan abadi.