Menggunakan kata “skandal” pada judul diatas adalah saya ingin mempertegas bahwa isu ini adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan segera.
Baru-baru ini, Tsamara Amany diberitakan menerima gaji bulanan lebih dari 200 juta rupiah sebagai komisaris di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penerimaan yang signifikan ini memicu polemik terkait kesesuaian dengan sistem sosial dan kondisi ekonomi Indonesia. Dari berbagai aspek, gaji sebesar ini dinilai terlalu besar, boros, dan tidak berpihak pada situasi keuangan negara yang tengah berjuang mengatasi tantangan ekonomi.
Ketimpangan Kompetensi dan Remunerasi
Pertama-tama, kompetensi dan pengalaman Tsamara Amany sebagai komisaris dipertanyakan oleh banyak pihak. Meskipun dia memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan pengalaman di bidang politik, jabatan komisaris BUMN seharusnya diisi oleh individu dengan rekam jejak yang kuat di sektor bisnis dan manajemen perusahaan. Dalam konteks ini, gaji lebih dari 200 juta rupiah per bulan dianggap tidak proporsional dengan kompetensi yang dimiliki.
Di Indonesia, gaji sebesar itu menciptakan jurang yang sangat lebar antara pejabat BUMN dan pekerja biasa. Mayoritas pekerja Indonesia masih berjuang dengan upah minimum yang jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketimpangan ini memperlihatkan ketidakadilan sosial yang mencolok dan dapat menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah dan pengelolaan BUMN.
Boros di Tengah Krisis Keuangan
Selanjutnya, penerimaan sebesar ini di tengah situasi keuangan negara yang nyaris bangkrut adalah bentuk pemborosan yang tidak bertanggung jawab. Indonesia sedang menghadapi tekanan ekonomi yang berat akibat pandemi COVID-19, dengan utang negara yang terus membengkak dan defisit anggaran yang kian melebar. Pemerintah seharusnya fokus pada pengelolaan keuangan yang efisien dan penghematan, bukan malah memperlihatkan ketidakpedulian dengan memberikan gaji besar kepada pejabat BUMN.
Dana yang dialokasikan untuk gaji komisaris bisa digunakan untuk program-program yang lebih mendesak, seperti peningkatan layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial bagi masyarakat miskin. Penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran hanya akan memperparah kondisi ekonomi dan memperlambat pemulihan pasca-pandemi.
Bandingkan dengan Luar Negeri
Jika situasi serupa terjadi di luar negeri, khususnya di negara-negara dengan tata kelola perusahaan yang baik, penerimaan seperti ini akan menjadi sorotan tajam dan berpotensi menimbulkan skandal besar. Misalnya, di negara-negara seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa Barat, kompensasi untuk pejabat publik dan BUMN diawasi ketat dan harus mencerminkan kinerja serta kontribusi yang signifikan. Pemborosan dan ketidaksesuaian dalam remunerasi bisa berujung pada tindakan hukum dan reformasi kebijakan.
Sebagai contoh, di negara-negara Skandinavia yang terkenal dengan sistem sosial yang adil, gaji pejabat publik, termasuk komisaris BUMN, ditetapkan berdasarkan standar yang sangat transparan dan ketat. Kompensasi yang terlalu tinggi tanpa justifikasi yang jelas tidak akan diterima dan akan mendapatkan reaksi keras dari publik serta media.
Kesimpulan
Gaji bulanan lebih dari 200 juta rupiah yang diterima Tsamara Amany sebagai komisaris BUMN adalah penerimaan yang signifikan dan tidak pas bagi sistem sosial serta kondisi ekonomi Indonesia. Ketimpangan kompetensi dan remunerasi, pemborosan di tengah krisis keuangan, serta perbandingan dengan tata kelola perusahaan di luar negeri menunjukkan bahwa kebijakan ini perlu dikaji ulang. Pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengelola anggaran negara dan memastikan bahwa kebijakan remunerasi pejabat BUMN adil, proporsional, dan sesuai dengan situasi keuangan yang ada.