“Sesal itu selalu datang belakangan,” kata sahabatku. Sebuah kalimat sederhana yang tak pernah benar-benar kumengerti… sampai aku berdiri di sisi batu nisannya.
Mentari masih terik ketika aku berdiri di sana. Udara siang menjalar pelan, mengaduk-aduk perasaanku yang belum sempat luruh. Karibku pernah berkata, “Sesal itu selalu datang belakangan.” Dulu kalimat itu hanya sebatas petuah bijak. Kini, ia menjelma kenyataan yang menikam.
Aku menatap nisan itu dalam diam, menggumamkan doa yang gugup, seperti terbata menata kata di hadapan seseorang yang tak akan menjawab lagi.
“Allahummaghfirlaha warhamha, wa ‘afihi wa’fu ‘anha…3 kali”
Bagas, si bungsu, jongkok di dihadapanku. Sorot matanya penuh sunyi. Ia belum bicara sepatah kata pun, tapi seluruh tubuhnya bercerita tentang kehilangan. Aku menunduk, menembus tanah yang masih segar, membayangkan Nana Nurhasanah—perempuan tangguh yang kini telah kembali ke pangkuan langit.
“Maafkan aku, Na,” bisik hatiku—lirih, nyaris tak terdengar, bahkan oleh diriku sendiri.
“Allahummaghfirlaha warhamha, wa ‘afihi wa’fu ‘anha…3 kali lagi”
Doa itu meluncur dari bibirku seperti air hujan yang tak sanggup membersihkan luka dalam dada. Di sebelahku, Bagas duduk diam. Matanya kosong, seperti berusaha menangkap kembali bayangan sang ibu yang telah menguap ditelan bumi.
Aku menatapnya sejenak. Ingin memeluk, tapi urung. Rasa bersalah membelenggu tubuhku.
Lalu, aku menunduk lagi. Menatap nisan yang masih baru, tanah yang mulai mengering, dan bekas bunga yang layu. Di balik sana, seseorang yang dulu sangat dekat denganku kini tidur dalam keabadian.
“Maafkan aku, Na…” bisik hatiku.
Bayangan masa lalu perlahan merekah dalam kepala. Aku ingat betul keseharian kami di rumah. Aku sering larut dalam tulisan, membaca buku, atau sekadar bernyanyi kecil. Sedangkan Nana… ia sibuk di dunianya sendiri. Menata ulang isi rumah seolah setiap sudut adalah altar kesempurnaan. Ia seperti tak pernah lelah, seolah kebersihan, harmoni, dan keindahan adalah bagian dari jiwanya yang tak terpisahkan.
Aku masih bisa membayangkan caranya menggulung kabel charger, menyusun bantal, menyemprotkan wewangian ke sudut-sudut ruangan. Semua teratur. Semua tertata. Ia adalah seorang seniman yang bekerja dengan cinta sebagai kuasnya.
Kini, hanya kenangan yang bisa kupeluk.
Sesekali, untuk mengenangnya, aku kembali ke tempat-tempat yang dulu ia datangi. Salon langganannya di Senayan City, restoran kesukaannya, bahkan mal-mal di Depok yang baginya seperti taman bermain dewasa. Sebelum menemui Bagas, aku sempat singgah membeli KFC — dua dada mentok dan kentang goreng. Menu sederhana yang selalu ia bawakan untuk anak bungsunya itu.
Aku ingin menghidupkan lagi kenangan-kenangan itu. Meski hanya sebentar.
Lalu datanglah hari ke-40 sejak kepergiannya.
Sore itu, setelah Ashar, rumah almarhumah dipenuhi orang-orang tercinta. Mamih, adik-adiknya, para keponakan, tetangga, hingga jamaah masjid terdekat. Mereka datang dengan pakaian rapi dan mata yang teduh. Doa-doa mulai dilantunkan.
Pak Haji Elyun, tokoh di lingkungan kami, meminta perwakilan keluarga untuk menyampaikan sambutan. Semua mata tertuju padaku. Aku berdiri pelan, suara gemetar, napas terasa sempit.
“Terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu,” ucapku terbata. “Kami mohon maaf atas segala khilaf dan kekeliruan almarhumah selama bergaul… Semoga segala kebaikannya diterima Allah SWT.”
Air mata tak terasa menetes. Aku tak mampu membendungnya. Apalagi ketika Ustaz mulai memimpin doa, dan aku membuka buku Yasin peringatan 40 hari. Di halaman pertama, tertera fotonya. Senyum. Berkerudung.
Wajah itu. Senyum itu. Yang dulu menenangkan, kini mengguncang.
Usai acara, aku segera pamit. Ada agenda lain di Bogor. Dalam perjalanan, aku duduk berdua dengan Acep, sahabatku. Kami larut dalam percakapan panjang — bukan tentang hari ini, tapi tentang masa lalu.
Kami mengenang saat kami bertiga makan bersama, merayakan honor pertamaku dari YouTube. Nana tersenyum bangga saat itu, seperti seorang istri yang yakin suaminya akan jadi sesuatu. Aku tersipu, malu karena yang kuterima masih sedikit, tapi ia seolah melihat masa depan di dalamnya.
“Dia percaya padamu,” seperti ada suara gaib yang membisikkanku.
Aku hanya mengangguk. Dalam diam, hatiku menjerit.
Ya, sesal itu memang selalu datang belakangan. Dan ketika datang, ia tak pernah datang sendiri—ia membawa rindu, luka, dan pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh waktu.
Pelajaran-pelajaran yang Kini Kulekatkan
Pelajaran pertama yang diam-diam menancap dalam hidupku adalah soal kebersihan. Nana, dalam kesehariannya, mengajarkannya tanpa ceramah, tanpa paksaan. Hanya dengan contoh—yang hidup dan konsisten.
Setiap tamu yang berkunjung ke rumah, hampir tak ada yang tak menyebut betapa bersih dan tertatanya tempat tinggal kami. Bahkan Yu Sakama, sudah seperti anak angkatku sendiri – asal Jepang yang pernah tinggal selama setahun, mengaku, “Saya belajar soal kebersihan dari rumah ini.” Sebuah pengakuan yang tak main-main, datang dari bangsa yang dikenal begitu teliti dalam urusan kerapian dan sanitasi.
Lalu aku mulai menyadari hal-hal kecil yang dulu kuanggap sepele.
Di tiap laci lemari, Nana menyimpan uang—terlipat rapi dalam gepokan kecil: pecahan lima ribuan dan sepuluh ribuan. Awalnya aku tak tahu apa maksudnya. Tapi kemudian kusadari, itu disiapkannya untuk tipping. Siapa pun yang memberi jasa—entah tukang galon, tukang listrik, kurir, bahkan tukang sampah—tak pernah ia biarkan pergi tanpa sekeping penghargaan. Ia mengajarkan bahwa jasa sekecil apa pun patut dihargai, karena kerja adalah kehormatan manusia.
Makan malam bersamanya adalah upacara keindahan. Tidak hanya soal rasa, tapi juga penyajian. Piring yang dipilihnya selalu baik—putih bersih, tanpa gores. Sendok garpu lengkap, serasi dengan gelas kaca yang bening. Tatakan, alas meja, hingga potongan buah penutup—semuanya tertata seperti menyambut tamu istimewa. Padahal itu hanya aku, suaminya. Tapi begitulah ia mencintai: dengan perhatian yang tak pernah remeh.
Kamar mandi tak pernah kotor, apalagi basah. Aromanya lembut, sabun dan wewangian tersusun rapi. Cermin mengkilap, wastafel selalu kering. Selesai mandi, tanpa diminta, ia akan mengelap semuanya. Sikat gigi, sabun, pasta gigi—semua berada pada tempatnya. Tak sekadar bersih, tapi juga sedap dipandang.
Tempat tidur pun demikian. Sprei dan sarung bantal selalu selaras dengan warna dinding, gorden, bahkan wallpaper. Wangi, rapi, dan diganti secara rutin. Tak ada yang tampak kusut, tak ada yang tampak terburu-buru.
Baru kini aku paham. Ia tidak sekadar menata rumah—tapi menata hidup kami. Dengan cinta. Dengan keindahan.
Dan aku, seperti biasa, baru menyadari semua itu ketika ia telah tiada.
Dalam Diam, Aku Menemukanmu Lagi
Dalam diam, kau tetap bicara,
lewat bantal yang rapi, meja yang terjaga,
lewat wangi sabun dan lilin di rak kamar mandi,
lewat uang kecil di laci, yang tak pernah kuperhatikan dulu.
Kau bukan hanya hadir—
kau menetap,
dalam cara rumah ini bernapas,
dalam caraku kini melipat handuk,
dan menyiapkan piring makan malam.
Aku yang dulu lalai, kini jadi murid,
dari kenangan yang tak bersuara,
dari cinta yang tak pernah menuntut balasan.
Kau telah pergi,
tapi hidupmu menjelma napas di setiap sudut,
mengajarku arti pulang
yang tak pernah benar-benar hilang.

Maafkan aku,
karena baru mengerti ketika sunyi memeluk,
dan sesal mengetuk pintu kalbu.
Tapi yakinlah, Na,
aku sedang belajar mencintaimu kembali—
dalam cara yang kau ajarkan diam-diam,
dalam hening yang kini kuterima…
sebagai warisan paling setia.