Dalam pergulatan hidup yang tak jarang penuh dengan absurditas, kita sering terjebak dalam ilusi bahwa kebenaran hanya bisa ditemukan setelah menyelami seluruh samudra pengalaman. Seakan-akan kita harus menelan seluruh realitas sebelum berani berkata bahwa kita mengerti. Namun, tidakkah itu seperti minum seluruh air laut hanya demi memastikan bahwa ia asin?
Dalam filsafat epistemologi, ada adagium bahwa “pars pro toto”—sebagian bisa mewakili keseluruhan. Seekor camar yang melayang rendah di atas permukaan air tidak perlu menyelam ke dasar laut untuk mengetahui bahwa samudra itu luas. Begitu pula seorang manusia, tak perlu menghabiskan usia demi mengecap segala rasa dunia untuk memahami hakikatnya.
Seorang filsuf besar, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how.” Ia memahami bahwa makna hidup tak harus digali dari ribuan kejadian, cukup dari serpihan-serpihan kecil yang mengandung esensi. Kehidupan tidak menuntut kita untuk mengalaminya secara totalitas, tetapi mengajarkan kita untuk memahami pola di balik setiap pengalaman.
Namun, manusia sering kali jatuh dalam fatamorgana verifikasi absolut. Ada yang merasa harus melalui setiap pengalaman pahit untuk bisa mengerti kepahitan itu sendiri. Padahal, sebagaimana kita mencicipi setetes air laut untuk memahami rasa asinnya, hikmah pun sering kali hadir dalam dosis kecil. La petite perception, istilah dari Leibniz, menyatakan bahwa pemahaman mendalam justru lahir dari pengamatan halus yang sering kali luput dari mata awam.
Maka, dalam perjalanan hidup ini, belajarlah untuk mengenali tanda-tanda kecil yang mengandung kebijaksanaan. Tak perlu menunggu seluruh negeri terbakar untuk tahu bahwa api bisa melalap segala. Tak perlu merasakan setiap luka untuk memahami bahwa kehidupan mengandung duka. Dalam jejak yang kecil, dalam isyarat yang subtil, tersembunyi pemahaman yang bisa menyelamatkan kita dari kesia-siaan. Savoir sans tout vivre, mengetahui tanpa harus menjalani segalanya—itulah seni hidup yang sesungguhnya.