Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik – Ketua Umum Aliansi Anak Bangsa.
Hak angket mengenai pertanggungjawaban Pemilu 2024 yang dimiliki oleh DPR RI adalah kewenangan yang secara dominan dipegang oleh Jusuf Kalla (JK), mengingat kedekatannya dengan Ketua Umum PDIP. PDIP merupakan partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPR RI.
Selain JK, terdapat Surya Paloh selaku Ketua Partai Nasdem dan Muhaimin sebagai Ketua Umum Partai PKB yang juga memiliki peran penting dalam proses tersebut.
Namun, mengapa PKS tidak diharapkan memiliki peran yang signifikan? Hal ini disebabkan oleh ciri khas politik identitas yang dimiliki oleh PKS dan hubungannya yang kurang harmonis dengan PDIP, yang dikenal sebagai partai yang mewakili “wong cilik”. Karena hubungan yang kurang memuaskan ini, kemungkinan PKS diundang oleh JK untuk mendapatkan dukungan dari Megawati cukup rendah.
Hubungan yang kurang harmonis antara PKS dan PDIP tergambar dari beberapa insiden selama proses persidangan anggota legislatif, di mana publik dapat menyaksikan kurangnya rasa hormat dari pemimpin sidang, Puan Maharani, yang juga merupakan senior di DPP PDIP sebagai Ketua DPR RI, terhadap anggota PKS.
Namun, jika kita melihat kepribadian JK, tanpa didampingi oleh Surya Paloh atau Gus Imin, JK memiliki kemampuan untuk melobi Megawati Soekarnoputri. Selain itu, tidak ada masalah antara keduanya sejak 1998 hingga Pilpres 2024.
Oleh karena itu, JK telah membuktikan kualitas dan kapasitasnya sebagai seorang tokoh bangsa, selain pengalamannya sebagai Wakil Presiden di era Jokowi 2014-2019. Restu dari Megawati, sebagai pengusung Jokowi, kepada JK sebagai calon Wakil Presiden menunjukkan bahwa JK masih memiliki nilai dan pengaruh politik yang signifikan di Partai Golkar saat ini.
Dengan demikian, kepercayaan Surya Paloh, Gus Imin, dan Ahmad Syaikhu kepada JK sebagai perwakilan nasional dalam upaya menginisiasi hak angket di DPR RI merupakan langkah yang signifikan dalam menanggapi kekacauan yang terjadi pada penyelenggaraan pemilu pilpres 2024.
Namun, keberhasilan representasi politik dari ketiga partai ini dalam mewujudkan hak angket sangat bergantung pada hasil pertemuan JK dengan Megawati.
Dalam pertemuan tersebut, JK tentunya telah menjabarkan poin-poin konsesi atau komitmen politik dari ketiga partai terkait keberlanjutan hak angket, termasuk juga “kesudahannya”. Hal ini mencakup perbincangan tentang penegakan hukum terhadap mereka yang terlibat, jika hak angket berhasil mencapai tujuan utamanya, yaitu penggulingan Jokowi dan diskualifikasi peserta kontestan pilpres 02 berdasarkan pertimbangan hukum dan politik.
Namun, sejak awal persaingan politik yang mengasyikkan ini antara Mega dan JK, yang mewakili keempat partai dengan masing-masing ketuanya, ternyata tidak mencapai hasil yang diharapkan. Meskipun JK berperan sebagai mediator politik dan Megawati memiliki peran yang sangat besar, namun terjadi kebuntuan politik antara keduanya.
Jika hak legislatif benar-benar terlaksana dan hak angket dijalankan, harapan untuk mencapai target khusus dengan hak angket mungkin hanya akan menjadi angan-angan. Mungkin akan berakhir hanya sebagai pertunjukan di ruang sidang di Senayan yang kemudian menjadi sorotan di media sosial. Namun, bagi para politikus, walaupun tidak ada hasil yang nyata, namun proses tersebut tetap menguntungkan semua pihak, baik yang pro maupun yang kontra. Hal ini karena tekanan politik melalui hak angket terhadap agenda inti, sebenarnya menjadi ajang untuk menghasilkan kompromi politik lainnya. Persidangan yang penuh antusiasme dengan dukungan mayoritas rakyat ini, sebenarnya sangat penting dalam memuluskan jalan menuju perolehan remah-remah politik.
Namun, terjadi sebuah fenomena di tengah masyarakat, di mana reaksi hanya sebatas menggerutu, berkata kasar, menyumpah, atau bahkan berserah diri, tanpa tindakan yang nyata.
Perlu dicatat bahwa urgensi politik yang diidamkan oleh publik yang berpikiran sehat sangatlah penting, karena substansial dan telah membawa perubahan yang signifikan. Kita yakin akan kesuksesan yang lengkap, meskipun mungkin itu terjadi dengan paksaan atau terpaksa, saat terjadi gejolak politik yang mendadak di bawah payung hukum besar, seperti keadaan darurat, yang meluap-luap dan bergulung seperti tsunami yang nyata.