Pengantar:
Kisah ini adalah fiksi belaka. Nama-nama tokoh dalam cerita ini hanya digunakan sebagai unsur naratif dan tidak mencerminkan individu atau kejadian nyata. Segala kesamaan dengan peristiwa atau tokoh asli hanyalah kebetulan belaka.
Bab 1: Bayang-Bayang Kejatuhan
Malam itu, di sebuah ruangan mewah yang tersembunyi di sudut istana, Jokowi duduk termenung. Pikirannya berkecamuk, dihantui oleh bayangan masa depan yang tak pasti. Di hadapannya, Gibran dan Kaesang duduk dengan ekspresi serius, sementara Iriana hanya diam, memperhatikan dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Ayah harus memastikan semuanya tetap terkendali,” ujar Jokowi dengan suara berat. “Kita tidak boleh lengah. Kalau mereka berhasil membongkar semua ini, kita habis.”
Gibran menyandarkan punggungnya, menyilangkan tangan di dada. “Kita sudah mengunci semua celah. Tidak ada yang bisa menggugat ijazah Ayah, tidak ada yang bisa membuktikan korupsi itu secara langsung.”
Kaesang, yang selama ini lebih santai, kali ini terlihat lebih gelisah. “Tapi, Bang, semakin lama kita bertahan, semakin banyak musuh yang ingin melihat kita jatuh. Ayah harus punya langkah lebih jauh.”
Iriana akhirnya angkat bicara, suaranya lirih tapi tajam. “Lalu, bagaimana dengan rakyat? Sampai kapan ini harus terus dilakukan?”
Jokowi menghela napas panjang, lalu menatap istrinya dengan mata yang dingin. “Rakyat hanya melihat apa yang kita biarkan mereka lihat. Dan selama kita memegang kendali, mereka takkan bisa berbuat apa-apa.”
Hening sejenak. Gibran akhirnya bersuara kembali, kali ini lebih serius. “Pilgub Jakarta dan Sumut adalah batu loncatan. Jika kita bisa menanamkan orang-orang kita di sana, kita bisa memperpanjang kendali. Setelah itu, 2029…”
Kaesang menatap ayahnya dengan ragu. “Tapi, apakah kita benar-benar bisa mengontrol semuanya? Bagaimana jika… teman-teman kita sendiri berkhianat?”
Jokowi tersenyum tipis, tatapannya tajam. “Mereka tahu konsekuensinya. Kita sudah terlalu dalam. Tidak ada jalan kembali.”
Malam semakin larut, tapi percakapan itu masih berlanjut. Di balik ambisi dan kekuasaan, terselip ketakutan yang semakin sulit disembunyikan. Mereka tidak hanya melawan musuh politik, tetapi juga waktu yang semakin mendekatkan mereka pada kemungkinan terbesar yang paling mereka takutkan: kejatuhan.
Bab 2: Mengatur Catur Kekuasaan
Pagi itu, Jokowi duduk di meja panjang dengan beberapa penasihat kepercayaannya. Di antara mereka, ada Luhut, yang selama ini menjadi pilar utama strategi politiknya. Di sudut ruangan, Gibran dan Kaesang duduk dengan sikap diam, menyimak setiap kata yang diucapkan.
“Kita tidak bisa hanya bertahan,” ujar Luhut sambil mengetukkan jarinya ke meja. “Kita harus menyerang. Jika ada yang mencoba menggoyang kita, kita buat mereka sibuk dengan masalah mereka sendiri.”
Gibran mengangguk. “Kita punya media, kita punya jaringan hukum. Mereka bisa kita kendalikan.”
Jokowi menarik napas panjang. “Dan bagaimana dengan para jenderal? Mereka mulai ragu dengan kita. Aku ingin jaminan bahwa TNI tetap dalam kendali kita.”
Luhut tersenyum dingin. “Jangan khawatir. Aku sudah bicara dengan beberapa orang penting. Asalkan kita jaga kepentingan mereka, mereka akan tetap setia.”
Kaesang, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi sampai kapan, Om? Sampai kapan kita terus bermain seperti ini?”
Luhut menatapnya tajam. “Sampai kita tak lagi punya pilihan.”
Suasana ruangan kembali tegang. Setiap langkah yang mereka ambil akan menentukan nasib mereka. Bukan hanya soal mempertahankan kekuasaan, tapi juga tentang menyelamatkan diri dari gelombang kebenaran yang semakin mendekat.
Bab 3: Retakan di Dalam Tembok
Di dalam lingkaran kekuasaan, ketidakpercayaan mulai tumbuh. Beberapa menteri yang dulu setia kini diam-diam mulai menjaga jarak. Ada desas-desus bahwa beberapa pihak dalam pemerintahan mulai bekerja sama dengan oposisi.
Gibran duduk di ruang kerjanya, membaca laporan dari intelijen politik. “Beberapa orang di kabinet mulai goyah, Ayah. Mereka diam-diam menemui lawan-lawan kita.”
Jokowi menghela napas dalam. “Siapa saja mereka?”
Kaesang, yang berdiri di sudut ruangan, menjawab lirih. “Beberapa nama sudah kami pantau. Tapi masalahnya, mereka bukan satu atau dua orang. Mereka melihat retakan di sistem kita. Dan mereka ingin menyelamatkan diri sebelum semuanya runtuh.”
Jokowi menatap lurus ke arah jendela, pikirannya berputar cepat. Ia telah membangun kekuasaan dengan begitu cermat, namun kini ia bisa merasakan temboknya mulai rapuh.
Di tempat lain, seorang menteri senior duduk dalam pertemuan rahasia dengan seorang jenderal. “Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan tenggelam bersama mereka.”
Jenderal itu mengangguk pelan. “Kita harus mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.”
Retakan kecil kini semakin lebar. Kekuasaan yang tampaknya kokoh mulai menunjukkan kelemahan yang tak bisa lagi disembunyikan.
Bab 4: Runtuhnya Dinasti
Ketakutan yang selama ini menghantui akhirnya menjadi kenyataan. Investigasi yang dilakukan oleh pihak independen menemukan bukti-bukti kuat tentang korupsi dan manipulasi kekuasaan yang dilakukan keluarga Jokowi. Media mulai memberitakan skandal demi skandal, rakyat yang dulu percaya mulai bangkit melawan.
Puncaknya, sebuah operasi besar dilakukan oleh aparat penegak hukum yang bersih dari intervensi kekuasaan. Jokowi, Gibran, Kaesang, dan beberapa kroninya ditangkap dalam sebuah penggerebekan dramatis. Iriana hanya bisa menangis melihat keluarganya runtuh dalam sekejap.
Di ruang sidang, bukti demi bukti diungkapkan. Dari ijazah palsu hingga rekening-rekening rahasia yang berisi miliaran rupiah hasil korupsi. Hakim akhirnya menjatuhkan vonis berat kepada Jokowi dan keluarganya.
Di balik jeruji besi, Jokowi termenung. Ia mengingat malam-malam panjang saat ia merancang strategi untuk bertahan. Kini semuanya sia-sia. Kekuasaan yang selama ini ia genggam telah hancur, dan nama keluarganya akan selalu diingat sebagai simbol kejatuhan.
Di luar penjara, rakyat bersorak. Keadilan akhirnya ditegakkan. Dinasti yang dulu dianggap tak tergoyahkan akhirnya runtuh oleh kebenaran yang tak bisa lagi dibungkam.
Tamat.