Perubahan. Sebuah kata yang mengguncang, menggoyahkan kenyamanan yang kita peluk erat, seperti angin yang mengobrak-abrik dedaunan di malam yang sunyi. Mengapa kita takut? Karena perubahan adalah samudra tanpa peta, tanpa kepastian. Sebuah terra incognita yang menuntut kita berani melangkah ke dalam kegelapan, tanpa jaminan cahaya yang akan menuntun.
Kita takut, karena perubahan meruntuhkan benteng kepastian yang kita bangun dengan hati-hati, dengan tangan yang penuh harap. Ia adalah angin yang merobek tirai yang menutupi pandangan kita. Ia membuat kita terlempar dari ruang nyaman yang telah kita kenal dan percaya. Ia memaksa kita untuk melepaskan apa yang telah kita anggap sebagai yang paling pasti, yang paling aman.
Dan, sebagai manusia, kita sering memilih berlari. Berlindung di balik ilusi kestabilan, memilih kebiasaan yang sudah kita kenal, meskipun itu adalah rutinitas yang menyiksa. Cogito ergo sum—aku berpikir, maka aku ada, tetapi apakah kita benar-benar ada dalam kenyataan yang kita ciptakan sendiri? Mengapa kita memilih bertahan di tepian, sementara kedalaman yang penuh misteri menunggu untuk dijelajahi?
Namun, dalam kenyataannya, ketakutan bukanlah tembok yang tak bisa ditembus. Ketakutan bukanlah sesuatu yang objektif dan nyata. Ia hanyalah bayang-bayang yang kita cipta dengan pikiran kita sendiri. Seperti fajar yang perlahan mengusir kegelapan malam, kita bisa memilih untuk mengusir ketakutan dengan keberanian—fortitudo. Keberanian untuk melangkah ke depan, menginjakkan kaki di tanah yang belum terjamah, dan membiarkan perubahan itu mengukir jejak-jejak baru dalam perjalanan kita.
Mungkin, pada akhirnya, kita tidak perlu takut pada perubahan. Karena ia bukan musuh, melainkan sahabat yang datang untuk membawa kita ke tempat yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih penuh makna. Kita hanya perlu belajar untuk berdamai dengan ketidakpastian, untuk mengubah ketakutan menjadi kekuatan.