Indonesia, negeri dengan langit biru yang bersanding dengan keagungan gunung-gemunung, adalah tempat di mana ideologi ketuhanan merasuk dalam setiap nafas konstitusi. Negara ini menjunjung tinggi Pancasila, dengan sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi tonggak moral dan spiritual. Namun, di balik gemilang retorika keagamaan, tersimpan realitas pahit: kemunafikan yang mencabik-cabik esensi kebajikan dan keimanan.
Muchtar Lubis, wartawan senior sekaligus pemikir tajam, pernah menguliti paradoks ini. Dalam karyanya, ia menyebutkan bahwa salah satu penyakit bangsa Indonesia adalah kemunafikan. Manusia yang mengaku bertuhan, yang lidahnya melantunkan ayat-ayat suci, namun perilakunya bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama. Seperti apa yang diungkapkan dalam surah An-Nisa:145, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.”
Di Antara Retorika dan Realita
Ketika masjid megah dibangun, dan doa berkumandang dalam setiap acara resmi, kita melihat di sisi lain korupsi merajalela, kemiskinan dibiarkan, dan keadilan menjadi barang langka. Kezaliman dihalalkan, dan janji-janji manis meluncur hanya untuk menguarkan aroma kebohongan.
Dalam istilah Latin, kita mengenal duplicitas, sebuah keadaan ketika manusia menunjukkan wajah ganda—satu wajah yang ditujukan untuk dunia luar dan satu lagi yang tersembunyi dalam gelapnya hati. Di sinilah kemunafikan berakar. Indonesia, dengan segala simbol ketuhanannya, sering terperangkap dalam duplicitas ini.
Ketuhanan dalam Bayang-Bayang Materialisme
Ironi ini semakin pekat ketika agama dijadikan alat legitimasi kekuasaan dan kekayaan. Agama tidak lagi menjadi refleksi transendensi manusia kepada Tuhannya, tetapi sekadar ritual tanpa ruh. Dalam istilah Al-Qur’an, mereka ini adalah “seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal” (Al-Jumu’ah: 5). Mereka mengerti, bahkan menghafal ayat-ayat, tetapi tak mempraktikkan kebenaran dalam hidup.
Materialisme dan hedonisme telah mencemari batin masyarakat. Banyak yang berlomba membangun citra kesalehan di media sosial, tetapi lupa pada esensia iman: kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Mereka menghakimi orang lain atas dasar dosa kecil, namun abai terhadap dosa-dosa besar seperti mencuri hak rakyat dan melanggengkan ketidakadilan.
Kecaman Tuhan dan Refleksi Manusia
Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya mengutuk kaum munafik, tetapi juga memberi mereka peringatan keras tentang akibat dari tindakan mereka. Firman-Nya dalam surah Al-Baqarah: 10, “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu; dan bagi mereka azab yang pedih karena mereka berdusta.”
Kemunafikan bukan hanya melukai hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial. Ia menciptakan ketidakpercayaan, memperkuat polaritas, dan menggiring masyarakat ke dalam jurang konflik.
Harapan di Tengah Kelam
Namun, setiap paradoks membawa potensi kebangkitan. Indonesia membutuhkan katharsis—pembersihan jiwa kolektif dari kemunafikan. Ini memerlukan keberanian untuk menghadapi diri sendiri, mengakui dosa, dan melangkah menuju transformasi. Dalam istilah filsuf Yunani, aletheia, kebenaran yang tersembunyi harus diungkap, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi untuk bangsa.
Kemunafikan adalah belenggu yang menghalangi Indonesia dari potensi spiritual dan moralnya. Sebuah bangsa yang ingin maju harus memeluk kejujuran, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama. Sebab, sebagaimana disebutkan dalam surah As-Saff: 2-3, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Jika tidak, maka neraka tingkatan paling dalam menanti. Sebuah tempat di mana suara keadilan, yang selama ini mereka abaikan, akan menggema dalam kekekalan, memukul-mukul jiwa yang telah kehilangan kesempatan untuk bertobat.