Joko Widodo bukan satu-satunya pemimpin yang merasa terhantui oleh bayang-bayang kekuasaan yang dibangunnya sendiri. Dalam sejarah, banyak pemimpin yang di ujung kekuasaannya tak lagi tenang berdiri di atas panggung, tetapi justru gelisah oleh apa yang dulu mereka tanam. Mereka sadar, kebenaran tak selamanya bisa ditekan. Dan ketika ia muncul ke permukaan, kekuasaan tidak lagi menjadi pelindung—melainkan penjara batin.
Kita pernah menyaksikannya pada Soeharto. Seorang jenderal yang di awal tampil sebagai penyelamat negara, tetapi perlahan berubah menjadi simbol kekuasaan yang penuh rasa takut. Takut pada mahasiswa, pada media, bahkan pada rakyat yang diam. Maka dikerahkanlah ABRI, dikendalikanlah hukum, dibungkamlah kritik. Tapi seperti semua cerita klasik, rakyat bangkit. Dan Soeharto turun bukan karena kalah oleh senjata, tapi oleh akumulasi kebusukan yang tak sanggup lagi disangkal.
Lihat pula ke Amerika. Richard Nixon tidak kehilangan kekuasaan karena tak punya pendukung. Ia jatuh karena ia takut kehilangan kekuasaan itu sendiri. Ketakutan itu membuatnya mencurangi sistem, melanggar hukum, dan mencoba menyembunyikan kebenaran. Tapi sejarah tak bisa ditipu. Ia tetap mencatat.
Kini kita lihat Jokowi berada di titik yang serupa—meski tidak identik. Ia tampil sederhana, namun kini bersembunyi di balik barisan kekuasaan yang ia ciptakan sendiri. Ketika kritik menguat, ia memanggil polisi. Ketika isu memanas, ia tampil bersama preman. Ketika gugatan hukum mengancam, ia datangkan pengacara. Semua ini bukan refleksi kekuatan, tapi cermin ketakutan. Dan ketakutan yang datang dari dalam adalah jenis ketakutan yang paling menghancurkan.
Tapi sejarah tidak hanya menyimpan kisah kejatuhan. Ia juga mencatat pemimpin-pemimpin yang berani menghadapi bayangannya sendiri.
Lee Kuan Yew, misalnya. Ia tidak populer dalam setiap kebijakan, tapi ia berdiri di atas prinsip. Ia memenjarakan koruptor tanpa peduli asal-usul politik. Ia membangun sistem yang keras tapi jujur. Ia mungkin bukan demokratis dalam definisi Barat, tapi ia tidak pernah takut dengan warisan yang akan ditinggalkan. Ia tahu: warisan sejati bukanlah gedung, tetapi kepercayaan rakyat.
Nelson Mandela bahkan lebih berani lagi. Ia punya alasan untuk balas dendam, untuk memanipulasi hukum, untuk membalas segala luka. Tapi ia memilih untuk memaafkan, merangkul, dan membangun negara baru tanpa dendam. Itulah kekuasaan yang tidak didorong oleh ketakutan, tetapi oleh visi moral.
Maka kini, Jokowi akan ditagih bukan oleh rakyat dalam bentuk demonstrasi, bukan oleh pengadilan dalam bentuk tuntutan, tetapi oleh sejarah dalam bentuk narasi. Dan sejarah tak bisa dibayar dengan citra. Ia hanya tunduk pada kebenaran.
Dalam refleksi terakhir, mari kita ingat kata-kata Lao Tzu:
“Seorang pemimpin terbaik adalah yang rakyatnya hampir tidak menyadari keberadaannya. Ketika pekerjaannya selesai, tujuannya tercapai, mereka akan berkata: kami melakukannya sendiri.”
Sayangnya, di Indonesia hari ini, rakyat semakin menyadari kehadiran pemimpinnya—bukan karena ia memimpin, tapi karena ia mencoba bertahan dari pertanggungjawaban.
Dan karena itulah, karma akan tetap bekerja. Bukan sebagai kutukan, tapi sebagai mekanisme alam yang adil. Karena dalam politik maupun kehidupan:
Yang ditanam dengan kebohongan, tidak akan tumbuh sebagai kebenaran.