Ada detik-detik dalam hidup yang sunyi, bukan karena hening, melainkan karena kita terlalu lama berdialog dengan diri sendiri. Kita menyebutnya ragu, sebuah jeda antara ingin dan berani, antara tahu dan bertindak. Dalam jeda itulah, kesempatan datang mengetuk pelan, lalu pergi sebelum kita sempat menyambut.
Ragu adalah bayangan yang menyelimuti cahaya keberanian. Ia bukan musuh, tapi bisa jadi pengkhianat. Ia tak selalu jahat, namun seringkali terlalu lama tinggal di kepala. Ketika kita berdiri di persimpangan pilihan, ragu menggoda dengan segala pertanyaan: “Apakah ini saat yang tepat?” “Apakah aku cukup mampu?” Padahal hidup, seperti air, tidak menunggu. Ia terus mengalir, membawa serta jawaban-jawaban yang tak sempat kita pilih.
Ada waktu-waktu di mana keputusan harus diambil bukan karena kita telah yakin sepenuhnya, melainkan karena dunia tidak sabar menunggu keraguan kita luruh. Dalam dunia nyata, kesempatan bukan selalu tentang siapa yang paling pandai berpikir, tapi siapa yang paling berani melangkah. Ragu yang berlarut bisa menciptakan celah—di mana orang lain menyalip, di mana peluang berubah arah, dan di mana hasil tak lagi memihak.
Dan ketika akhirnya kita melihat hasil yang jauh dari harapan, atau peluang yang sudah tak lagi menunggu, datanglah tamu bernama penyesalan. Ia tidak mengetuk. Ia menerobos masuk. Duduk di hati, berat, dan kadang tinggal terlalu lama. Kita menoleh ke belakang, bertanya pada waktu: “Mengapa aku tak segera bergerak?” Tapi waktu tidak pernah menjawab. Ia hanya tersenyum dingin, memberi tahu bahwa setiap detik yang berlalu adalah keputusan itu sendiri.
Namun, dalam ragu pun tersimpan pelajaran. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya keberanian. Bahwa lebih baik melangkah dan jatuh, daripada tinggal diam dan menonton kemungkinan lewat begitu saja. Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tapi keteguhan untuk bertindak di tengah ketidakpastian.
Jadi, ketika ragu datang, dengarkan ia sejenak. Tapi jangan beri ia rumah. Biarkan ia jadi angin yang meniupkan kewaspadaan, bukan badai yang membekukan langkah. Karena dunia ini milik mereka yang, meski gemetar, tetap memilih untuk melangkah.