Di tengah malam yang sepi, ketika angin menggigil di balik doa-doa yang tak terjawab, manusia selalu mencari sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya. Sebuah harapan, sebuah pelipur, sebuah tangan tak kasatmata yang katanya penuh kasih, rahman dan rahim. Maka diciptakanlah sosok agung yang Maha, tak terlihat namun diminta segalanya. Tuhan.
Namun, di antara doa dan derita, dalam gelap yang panjang dan luka yang menganga, sesungguhnya tak ada yang benar-benar datang.
Yesus, sang Mesias, tubuhnya tergantung di palang kayu, darahnya menetes bersama waktu. Ia telah menyembuhkan yang lumpuh, membangkitkan yang mati, memberi makan yang lapar dengan lima roti dan dua ikan. Ia mengajar tentang cinta dan pengampunan. Tapi di puncak penderitaannya, di tengah jerit luka dan sekarat, ia bertanya—bukan pada murid, bukan pada ibu, bukan pada dunia—tetapi pada langit yang membisu:
“Eli, Eli, lama sabaktani?”
Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan aku?
Pertanyaan itu bukan cuma milik Yesus. Itu adalah jeritan abadi manusia ketika keyakinan bertemu kenyataan. Ketika yang diyakini hadir, ternyata diam. Ketika yang ditunggu datang, justru pergi. Di detik-detik terakhir hidupnya, bahkan sang Anak Allah pun harus berhadapan dengan sunyi dari langit yang selama ini ia doakan.
Apakah ini bukan pukulan terakhir pada kepercayaan itu sendiri? Bila yang disebut “Anak Tunggal” pun tak dihiraukan, bagaimana dengan kita—manusia-manusia biasa yang tak punya mukjizat, tak punya pengikut, hanya punya tangis dan doa?
Di situlah mungkin kebenaran paling getir itu tumbuh. Bahwa Tuhan, entitas yang agung dan transenden itu, bisa jadi adalah ciptaan kita sendiri—sebuah ilusi kolektif untuk mengisi ruang takut yang tak terisi oleh logika dan cinta. Dalam ketakutan, kita menyebut nama-Nya. Dalam kesepian, kita berdoa. Dalam duka, kita menengadah. Tapi adakah yang benar-benar menjawab?
Kematian Yesus bukan hanya tragedi manusia; ia mungkin tragedi ide tentang Tuhan itu sendiri. Bahwa bahkan di puncak pengorbanan, tidak ada yang datang. Tidak ada malaikat. Tidak ada cahaya dari surga. Hanya angin sore yang membawa bau kematian, dan ibu yang menangis di bawah salib.
Maka kita bertanya kembali: benarkah Tuhan ada, ataukah Dia hanya harapan kosong yang kita puja karena terlalu takut pada kesendirian semesta?
Atau mungkin Tuhan memang ada—tapi bukan seperti yang kita bayangkan. Bukan seperti yang ditulis dalam kitab, digambar di dinding gereja, atau diserukan dalam azan dan lonceng. Mungkin Ia adalah sunyi itu sendiri, tak menjawab, tak menjanjikan, hanya menyaksikan dari kejauhan, diam-diam, tanpa intervensi.
Karena pada akhirnya, kita sendirilah yang harus memikul salib kita masing-masing. Dan mungkin itu satu-satunya kebenaran yang nyata: bahwa dalam derita, dalam sekarat, dalam getir paling sunyi, kita benar-benar sendirian.
Dan dari sanalah, justru, martabat manusia tumbuh. Bukan karena ditolong, tapi karena bertahan meski tak ditolong.