Tingkat terbawah dalam ilmu itu adalah “paham.” Ini adalah wilayah kejernihan logika berpikir dan kerendahan hati. Ilmu tidak membutakannya, malah menjadikannya kaya. Seorang yang paham selalu mencari kebenaran dan terbuka terhadap segala informasi yang bisa memperkaya wawasannya. Kerendahan hati adalah kunci yang membuat mereka terus berkembang dan menjadi lebih bijaksana.
Tingkat kedua terbawah adalah “kurang paham.” Orang yang kurang paham akan terus belajar sampai dia paham. Dia akan terus bertanya untuk mendapatkan simpul-simpul pemahaman yang benar. Sikap ini menunjukkan bahwa dia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan kesediaan untuk belajar dari siapa saja dan kapan saja. Dalam perjalanan belajar ini, dia mungkin akan menemui banyak rintangan, tetapi semangatnya untuk mengetahui lebih banyak tidak pernah pudar.
Naik setingkat lagi adalah mereka yang “salah paham.” Salah paham biasanya terjadi karena emosi dikedepankan, sehingga dia tidak sempat berpikir jernih. Ketika mereka akhirnya paham, mereka biasanya meminta maaf atas kesalahpahamannya. Jika tidak, mereka akan naik ke tingkat tertinggi dari ilmu, yaitu “gagal paham.” Salah paham ini menunjukkan pentingnya pengendalian emosi dalam proses belajar. Tanpa kemampuan untuk mengendalikan emosi, seseorang bisa dengan mudah tersesat dalam pemahaman yang salah.
Tingkat tertinggi dari ilmu itu adalah “gagal paham.” Gagal paham ini biasanya lebih karena kesombongan. Karena merasa berilmu, dia sudah tidak mau lagi menerima ilmu dari orang lain. Tidak mau lagi menerima masukan dari siapapun (baik itu nasihat atau kritik), atau memilih hanya mau menerima ilmu dari orang yang dia suka saja. Mereka bukan melihat apa yang disampaikan, tetapi siapa yang menyampaikan. Ini adalah bentuk keangkuhan yang menutup pintu untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Hati dan pikirannya tertutup, logikanya juga tertutup. Dia selalu merasa cukup dengan pendapatnya sendiri. Parahnya lagi, dia tidak menyadari bahwa pemahamannya yang gagal itu menjadi bahan tertawaan orang yang paham. Dia tetap dengan dirinya, dan dia bangga dengan ke-gagalpaham-annya.
Orang semakin paham akan semakin membumi, menunduk, merendah. Dia menjadi bijaksana karena akhirnya dia tahu bahwa sebenarnya banyak sekali ilmu yang belum dia ketahui. Dia merasa seakan-akan dia tidak tahu apa-apa. Dia terus mau menerima ilmu, dari mana pun ilmu itu datang. Dia tidak melihat siapa yang bicara, tetapi dia melihat apa yang disampaikan.
Ilmu itu seperti air, dan air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin dia merendahkan hatinya, semakin tercurah ilmu kepadanya. Sedangkan gagal paham itu ilmu tingkat tinggi. Dia seperti balon gas yang berada di atas awan. Dia terbang tinggi dengan kesombongannya, memandang rendah keilmuan lain yang tak sepaham dengannya, dan merasa bahwa dia adalah kebenaran.
Masalahnya, dia tidak mempunyai pijakan yang kuat sehingga mudah ditiup angin, tanpa mampu menolak. Sering berubah arah tanpa kejelasan yang pasti. Akhirnya dia terbawa kemana-mana sampai terlupa jalan pulang. Dia tersesat dengan pemahamannya dan lambat laun akan dibinasakan oleh kesombongannya. Dia akan mengakui ke-gagalpaham-annya dengan penyesalan yang amat sangat dalam.
Yang perlu diingat, akal akan berfungsi dengan benar ketika hatimu merendah. Ketika hatimu meninggi, maka ilmu juga yang akan membutakan si pemilik akal. Lidah orang bijaksana berada di dalam hatinya, dan tidak pernah melukai hati siapapun yang mendengarnya. Tetapi hati orang dungu berada di belakang lidahnya, selalu hanya ingin perkataannya saja yang paling benar dan harus didengar.
Ilmu itu open-ending. Makin digali makin terasa dangkal. Jadi, kalau ada orang yang merasa sudah tahu segalanya, berarti dia tidak tahu apa-apa. Semoga bermanfaat.