Ritual sumpah pocong yang diadakan oleh Saka Tatal di Cirebon pada Jumat, 9 Agustus 2024, menarik perhatian banyak pihak. Saka, mantan terpidana kasus pembunuhan Vina dan Rizky pada 2016, menggunakan sumpah pocong sebagai cara untuk memperkuat klaim bahwa dirinya tidak terlibat dalam kejahatan tersebut. Namun, sorotan utama dari ritual ini justru tertuju pada absennya Iptu Rudiana, polisi yang menangkap Saka dan ayah dari Rizky, yang tidak hadir untuk ikut bersumpah. Absennya Rudiana mengundang pertanyaan dan perbandingan tentang makna keberanian dalam menghadapi kebenaran.
Sumpah pocong, dalam konteks budaya Jawa, bukan sekadar ritual biasa. Ini adalah ekspresi yang mendalam dari komitmen terhadap kebenaran dan kejujuran. Dalam sumpah ini, seseorang tidak hanya mengikatkan dirinya secara spiritual, tetapi juga mempertaruhkan reputasi dan keyakinannya di hadapan publik. Bagi Saka, ritual ini adalah jalan terakhir untuk membuktikan bahwa dia bukan pelaku pembunuhan yang dituduhkan. Dengan mengenakan kain kafan dan menjalani prosesi sumpah pocong, Saka menunjukkan keberaniannya untuk menghadapi kebenaran, apapun konsekuensinya.
Di sisi lain, keputusan Iptu Rudiana untuk tidak hadir dalam sumpah pocong tersebut justru mengundang spekulasi. Sebagai ayah dari korban, serta polisi yang terlibat langsung dalam penangkapan Saka, ketidakhadirannya bisa diartikan sebagai ketidaksediaan untuk mempertaruhkan keyakinannya di hadapan publik. Kuasa hukumnya, Pitra Romadoni, menjelaskan bahwa sumpah pocong dianggap sebagai tindakan musyrik dan tidak dibenarkan dalam agama. Pernyataan ini, meski memiliki dasar teologis, tetap tidak bisa menghapus pandangan publik bahwa Rudiana tidak berani menghadapi tantangan sumpah yang diajukan oleh Saka.
Absennya Rudiana dalam ritual ini memperkuat simbolisme keberanian yang dibawa oleh sumpah pocong itu sendiri. Keberanian tidak hanya diukur dari seberapa kuat seseorang membela keyakinannya, tetapi juga seberapa besar dia bersedia mempertaruhkan reputasinya demi kebenaran. Saka, dengan segala risiko yang dia hadapi, memilih untuk menjalani sumpah pocong sebagai bentuk komitmen terhadap klaim ketidakbersalahannya. Sedangkan Rudiana, yang memiliki alasan untuk tidak hadir, justru menciptakan kesan bahwa ada sesuatu yang belum terungkap dalam kasus ini.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa keberanian sejati terletak pada kesediaan untuk menghadapi kebenaran, bahkan ketika itu berarti mempertaruhkan segalanya. Dalam masyarakat yang sangat menghargai simbolisme dan ritus, sumpah pocong bukan hanya soal tradisi, tetapi juga soal integritas pribadi. Ketidakhadiran Rudiana, meskipun dibenarkan dari sudut pandang agama, tetap menimbulkan pertanyaan tentang keberanian dan komitmennya terhadap kebenaran yang dia yakini.
Dalam konteks ini, sumpah pocong yang dilakukan oleh Saka Tatal bukan hanya sebuah ritual, tetapi juga sebuah pernyataan simbolik tentang keberanian untuk berdiri di hadapan publik dan mempertaruhkan segalanya demi kebenaran. Sebaliknya, ketidakhadiran Iptu Rudiana menimbulkan tanda tanya tentang sejauh mana keyakinannya terhadap kebenaran yang dia yakini, dan apakah ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu diungkap dalam kasus ini. Esai ini mengajak kita untuk merenungkan makna keberanian dalam menghadapi kebenaran dan bagaimana tindakan, atau ketidak-tindakan, dapat membentuk persepsi publik terhadap seseorang.