Semakin ditekan, semakin mengeras nyali manusia. Semakin ditindas, semakin tajam suara keadilan. Karena pada satu titik, diam menjadi pengkhianatan, dan tunduk adalah dosa terhadap nurani.
Pemerintah mungkin mengira, dengan membungkam suara, akan lahirlah ketenangan. Tapi sejarah tak pernah berpihak pada yang membungkam. Dalam kemelut FPI, yang terjadi bukanlah penegakan hukum, melainkan salah urus, salah urat, dan salah arah. Enam nyawa melayang bukan karena pengadilan, melainkan peluru. Padahal mereka bukan teroris. Mereka warga. Mereka manusia.
Lalu datang SKB enam menteri, layaknya palu raksasa yang menghancurkan seluruh ruang gerak. Tak hanya organisasi dibubarkan, tapi juga denyut hidup yang menyertainya: pengajian, maulid nabi, salat berjamaah, bahkan aksi kemanusiaan saat bencana. Dianggap ancaman. Dianggap musuh. Hanya karena bersuara di luar garis penguasa.
Jika memang ada pelanggaran, hukum individu pelakunya. Tapi mengubur satu lembaga karena opini dan stigma, adalah bentuk ketakutan yang disamarkan sebagai kebijakan. Legal standing dijadikan tameng, sementara konstitusi—sebagai pelindung hak rakyat—dicampakkan di kolong meja kekuasaan.
Jika kekuasaan bertindak seperti Tuhan, maka manusia pun akan bertanya: untuk apa iman, jika yang berkuasa menebar murka dan meniadakan kasih? Bila Tuhan pun digambarkan penuh dendam, jangan salahkan jika manusia kehilangan arah — bukan karena mereka kafir, tapi karena mereka kecewa.
Negeri ini lahir dari perlawanan. Maka jangan heran bila perlawanan kembali tumbuh. Karena yang paling tak lazim dalam demokrasi, adalah pemerintahan yang takut pada suara rakyatnya sendiri.
Dan jika harus kulawan demi membela keadilan — maka biarlah aku melawan, sekalipun kekuasaan menganggap dirinya Tuhan.