Damai Hari Lubis, SH.,MH.-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Jika informasi yang beredar luas di berbagai media sosial tentang dugaan kecurangan yang melibatkan perusahaan penyedia server atau jenis usaha di bidang sistem komputer yang menjalankan layanan tertentu pada jaringan komputer, terkait dengan penghitungan yang tidak fair, dan diduga melibatkan rumah KPU RI beserta anggotanya, serta server yang digunakan ternyata berasal dari negara asing (RRC), maka ini bukan sekadar kasus kecurangan biasa, melainkan kejahatan luar biasa melalui sistem yang menggunakan teknik komputerisasi dengan motif konspirasi yang disengaja atau disusun secara rapi (dolus).
Kecurangan dalam penghitungan suara di KPU Pusat melalui sistem komputerisasi merupakan bentuk pengkhianatan yang serius terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang melibatkan seluruh rakyat dan tanah airnya.
Jika KPU RI atau pihak lain memiliki bukti kerja sama (konspirasi) yang melibatkan pihak swasta atau pejabat penyelenggara negara, atau siapapun, baik individu maupun kelompok, yang mengundang, menyetujui, mengetahui, atau membiarkan pola perilaku tersebut, maka mereka semua adalah pelaku yang turut terlibat (delneming), baik sebagai pelaku utama maupun sebagai otak dari kejahatan tersebut (pleger dan medepleger). Mereka akan dipertanggungjawabkan secara hukum atas tindakan pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat Indonesia, pelanggaran terhadap konstitusi yang mencakup pelanggaran terhadap sumber hukum kita, UUD 1945, serta hirarki hukum lainnya, termasuk Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2017.
Sebagai kesimpulan hukumnya, para pelaku yang terlibat dapat dikategorikan sebagai “komprador”, dan terdapat indikasi bahwa yurisdiksi hukum mereka dapat mencakup ancaman pasal makar (aanslag) terhadap Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dengan ancaman hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Sistem hukum positif yang berlaku di negara kita memberikan wewenang untuk menindak para pelaku, tanpa memandang kewarganegaraan mereka, melalui asas nasional pasif (pasal 4) dan nasional aktif (pasal 5) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.
Oleh karena itu, wajar jika publik menyampaikan protes dan menunjukkan ketidakpercayaan pada tingkat tertinggi terhadap KPU RI sebagai penyelenggara Pemilu 2024 (Pilpres dan Pemilu Legislatif) serta menolak hasil penghitungan dalam bentuk apapun (quick count maupun real count) yang melibatkan KPU RI.
Dalam konteks “hak peran serta masyarakat,” secara hukum, siapa pun Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengetahui adanya kejahatan yang disebutkan sebelumnya seharusnya dianggap sebagai WNI yang mematuhi sistem hukum dengan berperan aktif sesuai dengan permintaan sistem hukum (berbakti) di negara ini. Mereka tidak akan dianggap melakukan tindakan melanggar hukum (kriminal) jika mereka menolak dengan tegas hasil kecurangan yang terjadi.
Adapun konsekuensi hukum dari tindakan makar dalam pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) ini, jika ada pihak-pihak dari kontestan pilpres dan legislatif yang terlibat, mereka harus didiskualifikasi secara hukum dari keikutsertaan dalam pemilu pilpres dan pileg 2024.
Kepatuhan rakyat terhadap hasil pemilihan ini dapat diteruskan kepada kinerja dan hasil dari KPU RI setelah tim penghitungan hasil pemilu 2024 mencapai 100%. Pada saat itu, diyakini bahwa proses penghitungan hasil pemilu telah diserahkan kepada tim independen yang terdiri dari para pakar dan ahli IT yang dipilih melalui kesepakatan hukum dari para tokoh bangsa serta pejabat publik yang tidak terlibat dalam tindakan kejahatan server. Tim ini juga diyakini memiliki kepribadian yang loyal terhadap bangsa dan negara (kredibilitas tinggi), akuntabel (jujur), serta profesional dan objektif dalam menjalankan tugasnya.